GELORA.CO - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, memberikan penjelasan terkait pernyataan Presiden Prabowo Subianto. Prabowo baru-baru ini menyatakan tidak sepakat jika koruptor dihukum mati.
Yusril mengatakan, pernyataan Prabowo sah dan sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
“Apa yang dikatakan oleh Presiden Prabowo mengenai hukuman mati bagi tindak pidana korupsi itu benar dilihat dari segi hukum positif yang berlaku," kata Yusril kepada wartawan, Selasa (8/4).
"UU Tipikor memang membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa korupsi yang terbukti melakukan kejahatan tersebut 'dalam keadaan tertentu'," tambah dia.
Yusril menjelaskan, dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan keadaan tertentu bagi napi kasus korupsi yang bisa dijatuhi hukuman mati. Kala itu, Yusril yang menjabat Menteri Hukum dan Perundang-undangan era Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid, ikut merancang UU Tipikor.
"Saya sendiri ketika itu mewakili Presiden membahas RUU tersebut dengan DPR. Dalam keadaan tertentu itu adalah keadaan-keadaan yang luar biasa seperti keadaan perang, krisis ekonomi maupun bencana nasional yang sedang terjadi," jelas Yusril.
"Meskipun UU telah membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati dalam keadaan seperti itu, sampai saat ini belum pernah ada penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa korupsi,” tambah Yusril.
Presiden Masih Bisa Beri Grasi dan Amnesti
Yusril menambahkan, meski hakim menjatuhkan hukuman mati dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) kepada napi korupsi, masih terbuka ruang bagi Presiden untuk memberikan grasi dan amnesti.
“Kalaupun grasi atau amnesti tidak diberikan, kapan eksekusi hukuman mati akan dilaksanakan, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung. Sekarang memang cukup banyak narapidana mati yang eksekusinya belum dilaksanakan. Ada yang WNI dan ada yang WNA,” jelas Yusril.
Yusril lantas menyoroti Indonesia saat ini sedang dalam masa transisi dari KUHP lama peninggalan Belanda menuju KUHP Nasional yang akan mulai berlaku awal 2026. Yusril mengingatkan dalam KUHP Nasional, hukuman mati yang dijatuhkan tidak dapat langsung dilaksanakan.
"Terpidana mati lebih dahulu harus ditempatkan dalam tahanan selama 10 tahun untuk dievaluasi apakah yang bersangkutan benar-benar sudah taubatan nasuha dalam arti amat menyesali perbuatannya atau tidak," kata Yusril.
Selain itu, jika napi itu dinilai telah taubat, maka hukumannya dapat diubah menjadi hukuman seumur hidup. Ketentuan ini berlaku bagi napi hukuman mati WNI atau WNA.
"Itu garis besarnya. Pelaksanaan hukuman mati dalam KUHP Nasional pelaksanaannya harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Pemerintah kini sedang mempersiapkannya,” tutur dia.
Tidak Ada Perlakuan Khusus Buat WNI dan WNA
Sementara menanggapi tudingan ada standar ganda terhadap napi hukuman mati WNI dan WNA, Yusril menepisnya. Ia memastikan tidak ada pemberlakuan standar ganda.
“Sama sekali tidak. Napi WNA itu dipindahkan ke negaranya untuk dipertimbangkan oleh pemerintahnya apakah akan dieksekusi mati atau tidak. Di dalam negeri, sikap Presiden Prabowo sangat jelas. Sampai hari ini di masa pemerintahan Presiden Prabowo tidak ada seorang pun terpidana mati yang dieksekusi oleh regu tembak, baik WNI maupun WNA," kata Yusril.
Yusril mengatakan, perubahan sistem hukum yang akan datang juga menjadi perhatian pemerintah. Terutama terhadap mereka yang telah dijatuhi hukuman mati berdasarkan KUHP lama.
“Sebagai pemerintah, kami juga harus memikirkan bagaimana nasib terpidana mati berdasarkan KUHP Belanda yang sekarang sudah inkracht dengan berlakunya KUHP Nasional tahun depan. Kalau ada perubahan hukum, maka ketentuan yang paling menguntungkan seseoranglah yang diberlakukan. Saya kira RUU Pelaksanaan Hukuman Mati nanti akan mengatur hal itu dengan jelas agar ada kepastian hukum,” ujarnya.
Prabowo Sosok Negarawan
Yusril menekankan, kebijakan Prabowo mencerminkan sikap kenegarawanan yang menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan kemanusiaan.
“Itulah maksud Presiden Prabowo, sebagai Presiden beliau tidak ingin melaksanakan hukuman mati terhadap napi mana saja dan kasus apa saja. Sebab jika seseorang sudah dieksekusi mati, tidak ada lagi kesempatan kita menghidupkan kembali orang tersebut, walaupun hakim sudah menyatakan 99,9 persen orang itu terbukti bersalah," kata Yusril.
"Tetapi tetap tersisa 0,1 persen kemungkinan dia tidak bersalah. Itu maksud Presiden Prabowo. Presiden berbicara bukan sebagai seorang hakim, tetapi sebagai seorang negarawan, sebagai bapak bangsa yang berjiwa besar dan mengedepankan sisi kemanusiaan daripada sisi lainnya,” tutup Yusril. (*)