GELORA.CO - Tiga hakim yang mengadili kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO), atau bahan baku minyak goreng mengaku menerima suap.
Adapun 3 hakim tersebut adalah Djuyamto selaku ketua, serta dua anggota bernama Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom.
"Memang dari mereka lah keterangan itu. 'Saya menerima sekian', nah tanggal sekarang sedang dicocokkan," kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada wartawan di gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu, 16 April 2025.
Mantan Kajati Papua Barat itu mengatakan berdasarkan keterangannya, para tersangka itu mengaku mendapatkan Rp4-6 miliar hanya untuk membaca berkas perkara kasus tersebut.
"Yang baru bicara itu kan baru dari majelis hakimnya yang menyatakan ada menerima Rp 4,5 (miliar) di awal untuk membaca berkas. Ada menerima Rp 4,5 (miliar) juga, ada menerima Rp 5 (miliar), ada menerima Rp 6 (miliar)," beber Harli.
Ketiga hakim tersebut diketahui mendapatkan duit suap dari Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu masih menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Dia memiliki wewenang dalam menunjuk hakim yang mengadili perkara.
Namun, Harli menjelaskan bahwa dalam pemeriksaan terhadap para tersangka, Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, masih enggan angkat bicara.
"Sekarang kan MAN juga belum bicara. Nah, yang baru bicara itu kan dari majelis hakimnya yang menyatakan ada menerima Rp4,5 miliar di awal untuk membaca berkas. Ada menerima Rp4,5 miliar juga, ada menerima Rp5 miliar, ada menerima Rp6 miliar," tutur Harli.
Harli menjelaskan saat ini penyidik Kejagung juga akan menjadwalkan pemeriksaan terhadap Muhammad Arif Nuryanta (MAN) untuk dimintai keterangannya terkait pemberian suap untuk mengatur vonis ontslag kepada terdakwa korporasi kasus migor.
"Nah ini sekarang yang sedang terus digali oleh penyelidik dari berbagai keterangan-keterangan," jelas Harli.
Sebelumnya, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar membeberkan kronologi kasus dugaan korupsi fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang melibatkan 3 hakim.
3 hakim itu adalah Agam Syarif Baharuddin (ABS) selaku hakim PN Jakarta Pusat, Ali Muhtarom (AM) selaku hakim PN Jakarta Pusat, dan Djuyamto (DJU) selaku hakim PN Jakarta Selatan.
Mulanya, Ariyanto selaku pengacara terdakwa korporasi CPO menyerahkan uang senilai Rp 60 miliar dalam bentuk dolar Amerika kepada panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
Selanjutnya, Wahyu meneruskan uang tersebut ke Ketua PN Jaksel M. Arif Nuryanta untuk menunjuk hakim yang mengadili perkara tersebut.
"Saat itu yang bersangkutan (Arif) menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus kemudian menunjuk majelis hakim yang terdiri dari DJU (Djuyamto) sebagai ketua majelis, kemudian AL (Ali Muhtaro) adalah hakim adhoc dan ASB (Agam Syarif Baharudin) sebagai anggota majelis," ujar Abdul Qohar di kantornya, Senin, 14 April 2025.
Adapun total uang yang diterima oleh ketiga hakim tersebut Rp22,5 M yang diberikan secara bertahap.
Arif yang kini juga sudah ditetapkan sebagai tersangka awalnya memberikan uang sebesar Rp 4,5 miliar ke Djuyamto cs untuk membaca berkas perkara.
"Kemudian uang Rp4.500.000.000 tersebut dimasukkan ke dalam goodie bag yang dibawa oleh ASB, kemudian dibagi 3 (tiga) kepada ASB, AL dan DJU," ungkapnya.
Selanjutnya, pada rentang September sampai Oktober 2024, Arif kembali menyerahkan Rp18 miliar dalam bentuk USD kepada Djuyamto.
Djuyamto kemudian membagi uang tersebut kepada 3 hakim di depan Bank BRI Pasar Baru, Jaksel.
"Jika ditotal, ketiga hakim itu menerima Rp22,5 miliar dari Arif yang mendapatkan Rp60 miliar dari Pengacara Marcella Santoso," ungkapnya.
Qohar menyebut ASB menerima uang dolar yang setera dengan Rp4.500.000.000 (empat miliar lima ratus juta rupiah).
"DJU menerima uang dolar setara dengan Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah) dari uang bagian DJU tersebut diberikan kepada Panitera sebesar Rp300.000.000. AL menerima uang berupa dolar Amerika yang setera dengan Rp5.000.000.000 (lima miliar),' ujar Qohar.
Jika diakumulasikan, Djuyamto mendapatkan Rp7,5 Milyar.
"Sehingga total seluruhnya yang diterima Rp22.000.000.000 (dua puluh dua miliar)," sambungnya.
Qohar mengatakan berdasarkan fakta yang didapatkan bahwa ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang tersebut agar perkara tersebut diputus Onslag dan pada tanggal 19 Maret 2025 perkara tersebut diputus Onslag.
Sumber: disway