GELORA.CO - Alat sadap milik Kejaksaan Agung (Kejagung) telah membuka tabir konspirasi busuk antara oknum advokat dan petinggi media televisi yang diduga menjual narasi sesat untuk melindungi para tersangka korupsi.
Bahwa Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB), resmi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menjadi kaki tangan dari dua advokat Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) dalam menyebarkan konten-konten negatif terhadap institusi Kejagung.
Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, TB secara sengaja membuat narasi provokatif dan menyerang reputasi Kejagung atas pesanan Marcella dan Juanaedi.
Tujuannya diduga untuk menghalangi proses penyidikan, penuntutan, bahkan pengadilan sejumlah perkara besar yang tengah ditangani.
“Tersangka MS dan JS memerintahkan TB memproduksi berita yang menyudutkan Kejaksaan. Semua itu mereka biayai dengan dana mencapai Rp478.500.000,” kata Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Dana ratusan juta rupiah itu diduga digunakan Tian untuk menyebarkan berita-berita manipulatif melalui media sosial dan kanal digital yang terafiliasi dengan Jak TV. Konten-konten ini kerap mengangkat isu kerugian keuangan negara secara sepihak dan tanpa dasar perhitungan valid.
Marcella dan Junaedi bahkan mendanai rangkaian seminar, demonstrasi, podcast, dan talkshow yang menarasikan propaganda hitam. Semua acara itu diliput oleh TB dan disiarkan ulang di media Jak TV serta disebarkan masif di platform seperti TikTok dan YouTube.
Kejagung menilai aksi trio tersangka ini dirancang untuk membentuk opini publik negatif terhadap institusi penegak hukum.
Mereka berupaya melemahkan fokus penyidik dan menciptakan kesan seolah perkara yang tengah disidik sarat kejanggalan. “Mereka ingin perkara ini bebas, atau setidaknya menyabotase konsentrasi penyidik dengan opini-opini menyesatkan,” kata Qohar.
Dalam upaya menutupi jejak, para tersangka diketahui menghapus sejumlah konten dan berita yang sebelumnya telah tersebar luas.
Skandal ini menjadi bukti bahwa informasi dapat menjadi senjata. Namun, teknologi penyadapan Kejagung justru membalikkan arah permainan.
Diketahui, bahwa Kejagung saat ini tengah membongkar kasus dugaan suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang melibatkan eks Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta.
Pada Senin (21/4/2025) Kejagung menetapkan tiga tersangka baru terkait kasus dugaan perintangan penyidikan maupun penuntutan (obstruction of justice) dalam penanganan perkara itu. Yakni dua orang advokat yakni Marcella Santoso dan Junaedi Saibih. Sementara satu tersangka baru lainnya ialah Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar.
Sebelumnya sudah ada 8 tersangka yang dijerat penyidik Kejagung. Dari pihak pemberi suap, yakni dua pengacara Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso serta pihak legal Wilmar Group, Muhammad Syafei. Dalam perkara CPO, ada tiga terdakwa korporasi, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Sementara untuk pihak penerima suap ada 4 tersangka yakni Muhammad Arif Nuryanta (mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Wahyu Gunawan (mantan Panitera Muda PN Jakpus) serta majelis hakim yang menyidangkan korporasi terdakwa CPO: Djuyamto, Agam Syarif, dan Ali Muhtarom.
Besaran uang suap yang diketahui sejauh ini adalah Rp 60 miliar. Uang itu dibagi-bagikan oleh Arif kepada ketiga majelis hakim serta untuk upah Wahyu Gunawan.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan ini bermula dari keanehan yang dirasakan pihaknya saat menyidangkan kasus CPO. Jaksa meyakini ada kerugian Rp 18 triliun imbas kasus tersebut.
Dalam kasus CPO ini, sudah ada lima orang yang diproses. Kelimanya sudah divonis bersalah dengan hukuman rata-rata 5-8 tahun pidana penjara. Mereka termasuk mantan Dirjen Daglu Kemendag, Indra Sari Wisnu Wardhana; hingga Lin Che Wei.
Dalam putusan MA, kelima terpidana tidak dibebani uang pengganti sebesar Rp 6,47 triliun. Untuk menindaklanjuti Putusan MA dalam rangka pengembalian kerugian negara, recovery asset, maka Kejaksaan Agung melakukan penetapan tiga group korporasi menjadi tersangka.
Adapun tiga group korporasi menjadi terdakwa yaitu: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Kejagung kemudian menuntut ketiganya membayar denda dan uang pengganti.
Rinciannya: PT Wilmar Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 11.880.351.802.619; Permata Hijau Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 937.558.181.691,26; Musim Mas Group dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 4.890.938.943.794,1.
Namun, Majelis Hakim menjatuhkan vonis lepas kepada ketiga terdakwa korporasi pada 19 Maret 2025. Ketiga grup tersebut dinyatakan terbukti sebagaimana dakwaan. Namun hakim menilai bukan suatu tindakan pidana atau ontslag van alle recht vervolging.
“Di putusan awal, pengadilan itu kan menyatakan bahwa terkait dengan uang pengganti itu tidak bisa dibebankan kepada person. Tetapi harus kepada korporasi, Lalu korporasi kita sidik. Dan ketika kita sidik, disidangkan, lalu putusannya onslag. Nah ini kan keanehan,” katanya di Kejagung, Jakarta Selatan pada Rabu (16/4/2025).
Dari keanehan itu, penyidik mulai mendalami dugaan suap ini. Pada Sabtu (12/4), Kejagung menjerat 4 tersangka yakni Arif Nuryanta (mantan Wakil Ketua PN Jakpus), Wahyu Gunawan (mantan Panitera Muda PN Jakpus), Ariyanto Bakri (pengacara), dan Marcella Santoso (pengacara).
Penyidik mendapatkan bukti permulaan terjadi suap antara pengacara dan hakim. “Ini kan ada, yang pasti kan ada permintaan dia (Ariyanto) kan mewakili apa namanya mewakili korporasi kan. Nah itu disampaikannya ke WG. Nah oleh WG disampaikan ke MAN. Artinya AR menyatakan bahwa ini ada bisa enggak putusan bebas,” jelasnya.
Namun Arif pun mengatakan bahwa tak bisa para terdakwa diberikan vonis bebas. Akan tetapi, bisa putusan lepas. “Yang bisa ontslag (lepas),” ucapnya.
Sebelumnya, sempat ada kesepakatan untuk memberikan uang Rp 20 miliar terkait pengurusan perkara CPO tersebut. Namun belakangan, Arif Nuryanta meminta uang tersebut dikali 3 menjadi Rp 60 miliar.
“AR bilang oke. Nah antara hubungan dengan WG dengan AR itulah ada MSY itu. Yang mewakili sebagai legal apa. Yang social security legalnya Wilmar. Yang kemarin ditahan. Itu di situ kolaborasinya. Setelah uang diserahkan WG ke MAN,” kata Harli.
Usai mendapatkan uang itu, Arif kemudian diduga baru menunjuk para majelis hakim, yakni Djuyamto, Agam, dan Ali. Pembagian uang terjadi dua kali.
Pertama, majelis hakim terlebih dahulu diberikan uang sebesar Rp 4,5 miliar. Uang itu pun dibagi tiga. Pada kesempatan lainnya, Arif Nuryanta diduga kembali membagi-bagikan uang tersebut agar perkara CPO divonis lepas.
Rinciannya: Agam Syarif menerima uang senilai Rp 4,5 miliar; Djuyamto menerima uang senilai Rp 6 miliar; dan Ali Muhtarom menerima uang senilai Rp 5 miliar.
Sisa dari Rp 60 miliar sampai saat ini masih didalami oleh Kejagung. Pembagian dan perhitungan secara persis juga masih dilakukan. “Ya itu (sedang) didalami persisnya seperti apa. Berapa sih sebenarnya yang diterima setiap orang,” jelas Harli.
Masih ada sisa sekitar Rp 40 miliar dari uang yang diterima Arif Nuryanta itu. Kejagung mengaku masih mendalami aliran dananya. Belum ada keterangan dari para terdakwa korporasi CPO maupun ketujuh tersangka kasus dugaan suap dalam pengaturan vonis perkara persetujuan ekspor CPO tersebut. Keempat hakim yang menjadi tersangka dalam kasus ini pun belum berkomentar.
Sumber: monitor