Mari kita bicara soal hal serius: gigi.
Dalam foto ijazah sarjana yang disebut-sebut sebagai milik Presiden Jokowi—yang belakangan ramai dibicarakan karena diduga palsu—terpampang wajah muda seorang pria dengan senyum manis dan gigi yang begitu rapi, layaknya hasil kerja ortodontis kelas dunia. Sungguh, sebaris gigi yang bisa membuat model pasta gigi iri hati.
Tapi kemudian, mari kita tatap senyum Pak Jokowi hari ini, dalam balutan jas kepresidenan. Apa yang kita lihat? Gingsul. Gigi menyelip ke depan dengan anggun, khas dan menawan, hingga bisa membuat Soimah minder. Bedanya, Soimah rela membayar ratusan juta untuk menghilangkan gingsulnya. Jokowi? Entah bagaimana, dari gigi super rapi di usia muda, kini tampil dengan gingsul yang menyembul penuh percaya diri.
Pertanyaannya sederhana, kenapa?
Apakah ini semacam proses “reverse aesthetic dentistry”? Atau mungkin Jokowi ingin menekankan ke-rakyat-an dengan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal dalam giginya? Atau mungkin, gigi rapi adalah tanda kemapanan terlalu dini yang tak sesuai narasi “anak tukang kayu,” dan karena itu harus dikoreksi?
Atau… barangkali justru kita semua yang terlalu jahat, terlalu curiga, terlalu sinis. Mungkin ini hanya keajaiban evolusi: gigi bisa berubah arah sesuai kebutuhan politik. Sebuah proses adaptasi biologis yang belum pernah dikaji dalam jurnal ilmiah, tapi sangat nyata di hadapan kita.
Ya, tentu saja kita harus adil. Banyak hal bisa berubah seiring waktu—rambut memutih, kulit berkerut, bahkan prinsip bisa fleksibel. Tapi gigi? Yang dulu rapi lalu jadi gingsul? Itu bukan penuaan biasa, kawan. Itu seni.
Maka mari kita akhiri dengan sebuah refleksi mendalam: siapa yang sebenarnya palsu, ijazahnya atau senyumnya? Dan mana yang lebih penting—keaslian gigi, atau keaslian kepemimpinan?