GELORA.CO - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Mohamad Haniv, mantan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Jakarta Khusus, sebagai tersangka kasus gratifikasi.
Haniv diduga menggunakan uang haram hasil gratifikasi untuk membiayai bisnis fashion show milik anaknya, Feby Paramita.
Berdasarkan penyelidikan, total penerimaan gratifikasi yang diduga diterima Haniv mencapai Rp 21,5 miliar. Temuan ini menambah daftar panjang kasus korupsi yang melibatkan pejabat pajak di Indonesia.
Menurut keterangan Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, Haniv menerima gratifikasi berupa uang tunai, valuta asing, serta penempatan pada deposito.
Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 804 juta diduga digunakan untuk membiayai fashion show bisnis milik putrinya, FH Pour Homme by Feby Haniv.
Bisnis ini, yang berdiri sejak 2015, diduga mendapat sokongan dana haram dari sang ayah, termasuk untuk kegiatan peragaan busana yang diselenggarakan secara mewah.
Kasus ini mencuat setelah KPK menemukan email dari Haniv kepada Yul Dirga, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing 3, yang meminta bantuan mencari sponsor untuk bisnis anaknya.
Email tersebut mengungkap permintaan dana senilai Rp 150 juta lengkap dengan nomor rekening dan kontak Feby.
Tak lama setelahnya, rekening Feby menerima aliran dana dari sejumlah pengusaha wajib pajak yang menyatakan tidak memperoleh keuntungan dari sponsorship tersebut.
KPK menduga, praktik ini merupakan modus untuk mencuci uang hasil gratifikasi yang diterima Haniv selama menjabat sebagai Kakanwil Ditjen Pajak Jakarta Khusus pada 2015 hingga 2018.
Pihak KPK menyebutkan bahwa selain dana Rp 804 juta, Haniv juga menerima gratifikasi dalam bentuk valuta asing sebesar Rp 6,6 miliar dan deposito di BPR senilai Rp 14 miliar.
KPK menegaskan, Haniv tidak bisa menjelaskan asal-usul dana tersebut secara sah. Atas perbuatannya, Haniv terancam dijerat dengan Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Jika terbukti bersalah, ia terancam pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga Rp 1 miliar.
Kasus ini tidak hanya mencoreng citra Ditjen Pajak, tetapi juga menjadi peringatan keras bagi para pejabat negara untuk menjaga integritas dan transparansi dalam mengelola dana publik.
Masyarakat pun berharap agar KPK dapat mengusut tuntas kasus ini hingga ke akar-akarnya, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak lain.
Langkah tegas ini dianggap penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi perpajakan serta memastikan tidak ada lagi penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara.***
Sumber: jatengzone