GELORA.CO - Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI yang menjadi terdakwa kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan proses pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR RI 2019-2024 yang melibatkan buron Harun Masiku, akan menyampaikan nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Ya, hari ini akan disampaikan dua dokumen eksepsi, Pak Hasto juga menyampaikan sendiri eksepsinya dan kemudian dilanjutkan tim penasihat hukum," kata penasihat hukum Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah kepada wartawan, Jumat (21/3).
Febri menjelaskan, eksepsi yang akan dibacakan Hasto Kristiyanto setebal 25 halaman untuk menguraikan bagaimana operasi politik dilakukan terhadap dirinya hingga duduk di kursi terdakwa hari ini.
Sedangkan, eksepsi Tim Penasihat Hukum setebal 130 halaman yang akan disampaikan secara bergantian oleh para penasihat hukum Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pagi ini.
"Kami berharap tahapan hari ini tidak saja bisa memberikan keadilan untuk Pak Hasto, tetapi juga menjadi bagian penting dari sejarah penegakan hukum di Indonesia," ucap Febri.
Senada juga disampaikan kuasa hukum lainnya, Maqdir Ismail menyatakan, eksepsi ini merupakan bentuk perlawanan secara hukum yang dilakukan oleh PDI Perjuangan. Hal itu sebagai penegasan sikap penolakan terhadap segala upaya pembungkaman demokrasi yang mendompleng dan mengatas namakan pemberantasan korupsi.
Dalam eksepsi tim penasihat hukum, akan diuraikan lebih terang sejumlah pelanggaran hukum yang dilakukan secara kasar oleh penyidik KPK.
"Mulai dari tidak sahnya penyidikan, sejumlah tindakan yang melanggar KUHAP dan prinsip due process of law, pelanggaran HAM tersangka, hingga empat uraian dakwaan KPK yang bersifat kabur, serta kekeliruan penerapan pasal obstruction of justice," ucap Maqdir.
Kuasa hukum lainnya, Alvon Kurnia Palma menjelaskan bahwa sebagian eksepsi menyinggung beberapa bagian pokok perkara. Menurut Alvon, hal ini penting disampaikan untuk menunjukkan tuduhan terhadap Hasto dibangun atas bukti-bukti yang rapuh.
Salah satu indikasinya dugaan penggunaan keterangan 13 orang Penyidik/Penyelidik KPK yang menangani perkara ini. Sebab, ia menyebut penggunaan keterangan pihak yang menangani perkara sebagai bukti untuk menjerat Hasto sangat keterlaluan.
"Ini melanggar KUHAP, tidak sesuai dengan Putusan MK, dan praktik kasar seperti ini juga sudah pernah dipersoalkan hingga pertimbangan hakim di sebuah Putusan Mahkamah Agung di tahun 2010. Pada dasarnya, Penyidik/Penyelidik seharusnya tidak bisa jadi saksi sejak di Penyidikan dan kemudian dijadikan bukti di sidang karena konflik kepentingan," tegasnya.
Adapun, Hasto Kristiyanto didakwa merintangi penyidikan kasus suap Harun Masiku. Hasto dianggap merintangi KPK yang ingin menangkap Harun Masiku, sehingga mengakibatkan buron sampai saat ini.
Hasto melalui Nurhasan memerintahkan Harun Masiku untuk merendam telepon genggamnya ke dalam air, setelah KPK melakukan tangkap tangan kepada Komisioner KPU RI 2017-2022 Wahyu Setiawan. Serta, memerintahkan staf pribadinya Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain itu, Hasto juga didakwa memberikan uang senilai SGD 57.350 atau setara Rp 600 juta untuk Komisioner KPU RI 2017-2022, Wahyu Setiawan. Hasto memberikan suap ke Wahyu Setiawan bersama-sama dengan Harun Masiku.
Pemberian suap kepada Wahyu Setiawan, dibantu oleh mantan anggota Bawaslu RI yang juga kader PDIP, Agustiani Tio Fridelina. Sebab, Agustiani memiliki hubungan dekat dengan Wahyu Setiawan.
Hasto didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHAP.
Sumber: Jawapos