GELORA.CO - PENUGASAN Presiden Joko Widodo kepada badan usaha milik negara membangun infrastruktur tanpa perhitungan matang membuat perusahaan-perusahaan pelat merah itu kini sekarat. Rasio utang PT Waskita Karya Tbk, PT Wijaya Karya Tbk, PT Adhi Karya Tbk, dan PT Pembangunan Perumahan Tbk dua-delapan kali lipat dibanding aset mereka. Batas aman rasio utang terhadap aset perusahaan maksimal satu kali.
Lima-enam tahun lalu, nama-nama BUMN karya itu berkibar di papan proyek-proyek besar: pembangunan jalan tol, jalur kereta, bandar udara, pelabuhan, bendungan, hingga megaproyek Ibu Kota Nusantara. Kini, jangankan memberikan dividen kepada negara, perusahaan-perusahaan itu tak mampu membayar kewajiban mereka kepada subkontraktor dan investor obligasi.
Obligasi menjadi andalan BUMN karya mengumpulkan uang untuk membiayai proyek-proyek yang menjadi ambisi Jokowi. Utang itu kini harus dibayar karena jatuh tempo. Manajemen perusahaan negara kelimpungan menebusnya karena tak bisa lagi menciptakan utang baru akibat lembaga keuangan enggan menyalurkan kredit. Pada Februari 2025, PT Pemeringkat Efek Indonesia menyatakan PT Wika tak akan mampu membayar obligasi karena likuiditasnya lemah.
Derita itu makin menumpuk karena pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tak lagi memprioritaskan infrastruktur sehingga BUMN karya tersebut kehilangan potensi pendapatan baru. Bujet infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 dipangkas hingga Rp 81,38 triliun dari Rp 110,95 triliun. Akibatnya, pemerintah tak membiayai proyek-proyek besar dari era Jokowi.
Hasrat meninggalkan warisan infrastruktur hebat membuat Jokowi memakai kekuasaan menugasi BUMN yang tak cukup modal itu mengerjakannya. Skema kerja sama dengan perusahaan negara Cina menghasilkan gunungan utang karena perjanjian yang tak menguntungkan. Beban keuangan BUMN pun kembali ke APBN.
Proyek-proyek infrastruktur itu tak menguntungkan pula secara bisnis. Kereta cepat Jakarta-Bandung terus disuntik subsidi karena biaya operasionalnya besar. Pelabuhan-pelabuhan dan bandara mangkrak karena tak diminati pelaku usaha. Bahkan kereta ringan (LRT) Jabodetabek terancam mandek karena PT Adhi Karya yang menggarapnya belum menerima bayaran.
Sekaratnya empat BUMN karya bakal berdampak sistemik. Subkontraktor yang dulu mendukung proyek-proyek raksasa ikut megap-megap. Perusahaan yang gulung tikar akan diikuti pemecatan massal karyawannya. Kehancuran ini berpotensi memicu krisis yang lebih luas di sektor konstruksi dan industri turunannya.
Kepercayaan investor ikut tergerus. Investor yang dulu melihat BUMN sebagai tempat aman berinvestasi sudah menarik diri. Kegagalan BUMN membayar utang tak hanya merusak reputasi emiten, tapi juga mengancam stabilitas pasar keuangan. Efek dominonya bisa merembet ke sektor perbankan yang memberikan pinjaman kepada perusahaan-perusahaan ini.
Pemerintah tak mungkin menyelamatkan BUMN karya dengan skema dana talangan karena akan menambah beban fiskal. Di tengah pemangkasan anggaran, seretnya penerimaan pajak, dan kondisi ekonomi global yang tak menentu, bailout hanya akan makin memperburuk kepercayaan publik terhadap kredibilitas manajemen keuangan Indonesia.
Presiden Prabowo tak punya pilihan selain sadar akan keadaan genting ini. Slogan “keberlanjutan” dan persekutuannya dengan Jokowi membuat ia kini terjepit. Prabowo mesti berpikir ulang untuk mewujudkan program prioritas yang membutuhkan anggaran besar. Saatnya ia menata ulang banyak aspek akibat kerusakan yang dibuat panutannya: Joko Widodo.
Sumber: tempo