GELORA.CO - DALAM beberapa bulan terakhir muncul berbagai kekhawatiran mengenai kondisi ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo Subianto.
Sentimen negatif ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk penurunan penerimaan pajak, melemahnya belanja negara, serta dinamika pasar modal yang terlihat mengkhawatirkan. Namun, apakah situasi ini benar-benar menandakan krisis? Ataukah ada realitas ekonomi lain yang menunjukkan bahwa kondisi tidak seburuk yang dibayangkan?
Merangkum dari diskusi rutin Indonesia Democracy Monitor (InDemo) pada Jumat, 14 Maret 2025, yang membahas kondisi ekonomi nasional dengan menghadirkan berbagai pandangan dari para senior InDemo, penulis menyimpulkan bahwa meskipun terdapat tantangan, ekonomi Indonesia tidak berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan seperti yang diperkirakan oleh sebagian pihak.
Pasar Modal dan Ekonomi Rakyat
Ketika indeks saham turun tajam, banyak yang menganggap ini sebagai sinyal bahwa ekonomi Indonesia sedang dalam bahaya. Sebaliknya, ketika indeks naik, sering kali diasumsikan bahwa ekonomi membaik. Namun, realitas di lapangan tidak sesederhana itu.
Sebagai contoh, pada awal 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat turun 3% dalam seminggu, yang memicu kepanikan di kalangan investor. Namun, di saat yang sama, harga beras di pasaran justru stabil di kisaran Rp12.000 per kg, bahkan lebih murah dibandingkan kuartal sebelumnya yang sempat menyentuh Rp.15.000 per kg akibat dampak El Nino. Ini menunjukkan bahwa indeks saham tidak selalu mencerminkan kondisi ekonomi rakyat.
Hal serupa pernah terjadi pada 2020, saat pandemi Covid-19. IHSG sempat anjlok ke level 3.900, tetapi harga kebutuhan pokok melonjak tajam, dan daya beli masyarakat turun drastis karena banyaknya PHK. Saat itu, meskipun indeks saham kembali naik di akhir tahun, ekonomi riil tetap mengalami kontraksi karena pendapatan rakyat belum pulih.
Pasar modal lebih merefleksikan sentimen investor dan prospek korporasi besar, bukan kesejahteraan rakyat secara langsung. Mayoritas masyarakat Indonesia tidak memiliki investasi di bursa saham, sehingga naik atau turunnya indeks tidak serta-merta berdampak pada daya beli mereka.
Menurunnya Pajak dan Belanja Negara: Ancaman atau Penyesuaian?
Fakta bahwa penerimaan pajak Indonesia turun 30-40% dalam dua atau menuju tiga bulan pertama 2025 memang patut dicermati. Beberapa analis menilai ini sebagai tanda melemahnya ekonomi. Namun, jika ditelaah lebih dalam, penurunan ini lebih banyak disebabkan oleh turunnya harga komoditas ekspor utama, seperti batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO), yang menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar bagi negara.
Sebagai perbandingan, pada 2015 di era Jokowi, penerimaan pajak juga sempat turun drastis akibat anjloknya harga komoditas. Namun, kondisi ekonomi tetap stabil karena konsumsi domestik yang kuat. Hal yang sama sedang terjadi di 2025, di mana meskipun penerimaan pajak menurun, belanja masyarakat masih relatif terjaga berkat harga kebutuhan pokok yang stabil dan program-program bantuan sosial yang berjalan.
Selain itu, pemerintah telah mengumumkan kebijakan penghematan anggaran sebesar Rp.293 triliun (setara $18,8 miliar) dengan mengurangi belanja birokrasi yang dianggap tidak produktif, seperti perjalanan dinas dan pengadaan barang mewah di kementerian. Pengurangan belanja negara tidak selalu berarti ekonomi melemah, tetapi bisa menjadi strategi efisiensi untuk menghindari pemborosan.
Beberapa kebijakan pemerintah yang berdampak nyata bagi rakyat perlu kira soroti, misalnya program makan bergizi gratis. Pemerintah telah meluncurkan program makan bergizi gratis bagi 82 juta anak sekolah dan ibu hamil, dengan anggaran Rp 447 triliun per tahun. Program ini diyakini sebagai langkah penting untuk mengurangi angka stunting dan meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia, yang diharapkan akan berdampak pada peningkatan produktivitas generasi mendatang.
Program Investasi Infrastruktur Energi. Untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar, pemerintah telah menandatangani proyek pembangunan kilang minyak baru dengan kapasitas 1 juta barel per hari di Kalimantan dan Sulawesi. Ini bukan hanya akan menekan impor BBM, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru bagi ribuan tenaga kerja lokal.
Selanjutnya adalah Stabilitas Harga Pangan. Dibandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami inflasi pangan tinggi, Indonesia masih mampu menjaga stabilitas harga beras dan kebutuhan pokok, fakta harga beras saat ini masih beredar kisaran Rp 10.000, 12.000, dan seterusnya per liter. Data terbaru menunjukkan bahwa harga beras di Indonesia justru lebih rendah dibandingkan Filipina dan Thailand, yang mengalami kenaikan akibat gangguan rantai pasok global.
Yang penting untuk ditegaskan adalah Fokus utama saat ini bukan sekadar angka di pasar modal atau penerimaan pajak, tetapi bagaimana kebijakan pemerintah benar-benar dirasakan oleh rakyat. Jika harga pangan stabil dan daya beli tetap terjaga, maka kekhawatiran terhadap krisis ekonomi bisa diredam.
Tantangan Ada, Tapi Bukan Krisis
Jika hanya melihat angka penurunan pajak atau turunnya indeks saham, memang mudah untuk menyimpulkan bahwa ekonomi Indonesia sedang menuju kehancuran. Namun, ketika melihat lebih dalam ke sektor riil, kebijakan fiskal, dan program sosial yang berjalan, tampak bahwa kondisi tidak seburuk yang dikhawatirkan.
Diskusi InDemo menarik, konsisten membahas hal-hal strategis secara relevan dan objektif. Yang perlu digarisbawahi terkait keadaan ekonomi saat ini adalah meskipun ekonomi menghadapi tantangan global, Indonesia masih memiliki daya tahan yang cukup baik berkat stabilitas harga pangan, program sosial yang berjalan, dan kebijakan fiskal yang lebih efisien.
Dapat disimpulkan bahwa Indonesia memang menghadapi tantangan besar, tetapi bukan berarti negara ini berada di ambang kehancuran ekonomi. Yang diperlukan saat ini adalah kebijakan yang tepat dan implementasi yang konsisten agar perekonomian tetap tumbuh, sekaligus menjaga kesejahteraan rakyat."
Seperti kata pepatah, "Jangan hanya melihat angka, lihatlah dampaknya di lapangan."