GELORA.CO - Klasemen liga korupsi yang ramai di media sosial harusnya menjadi teguran keras bagi semua lembaga penegak hukum.
Demikian pendapat Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) Ahmad Hariri melalui keterangan tertulisnya, Senin 10 Maret 2025.
Hariri melihat ramainya satire tersebut menunjukkan bahwa selama ini aparat penegak hukum (APH) hanya membangun pertunjukan kasus agar disebut hebat.
"Tapi pengembalian hasil korupsi dari kasus yang telah ditangani malah paling minim," kata Hariri.
Bergepok-gepok duit rakyat yang dikorupsi, kata Hariri, hanya ditindak sebagai atas nama penegakkan hukum.
"Namun uang hasil korupsi itu tidak pernah benar-benar kembali kepada rakyat," kata Hariri.
Menurut Hariri, pertanyaan ini harus mampu dijawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Dari data sepanjang periode 2019-2024, KPK telah melaporkan pengembalian hasil korupsi sebesar Rp2,5 triliun lebih.
Sementara Kejagung sangat jarang sekali melaporkan pengembalian hasil korupsi dari kasus yang mereka tangani.
Padahal korps Adhyaksa ini yang paling banyak memberitakan potensi kerugian negara yang super besar serta menyita banyak aset hasil korupsi.
"Sayangnya tidak banyak data yang rinci melaporkan recovery aset korupsi oleh Kejagung," kata Hariri.
Di sisi lain, kata Hariri, recovery aset hasil korupsi oleh KPK dan Kejagung juga masih sangat terlalu sedikit dibanding kerugian negara yang telah dikorupsi.
"Jadi wajar setengah dari masyarakat menilai pemberantasan korupsi hanya untuk kepentingan politik," kata Hariri.
Bukan hanya APH, pengembalian hasil korupsi juga harus jadi tanggungjawab Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Sebab sebagai bendahara negera, Kemenkeu harusnya mengumumkan uang dan aset hasil pengembalian korupsi ini benar telah diterima secara baik atau hanya publikasi media semata.
"Rampasan dari korupsi itu sudah digunakan untuk pos APBN dan program apa saja? Jangan sampai tindakan pemberantasan korupsi hanya menjadi ajang "giat rampok ketemu maling"," pungkas Hariri.
Sumber: rmol