Modus Korupsi Pertamina, Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Negara Rugi Rp 193 Triliun

Modus Korupsi Pertamina, Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Negara Rugi Rp 193 Triliun

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO  - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) tahun 2018-2023. 


Selain RS, Kejagung menetapkan enam tersangka lainnya, yakni Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF); SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.


Kemudian, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.


Akibat kasus ini, negara mengalami kerugian hingga Rp193,7 triliun. 



Kejagung pun telah mengungkap modus PT Pertamina Patra Niaga dalam kasus ini. 


Berdasarkan keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian dioplos menjadi Pertamax.


Pembelian Pertalite juga dibeli dengan harga Pertamax.



“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92. Dan hal tersebut tidak diperbolehkan," demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).


Berikut peran ketujuh tersangka kasus korupsi tersebut: 



- RS bersama SDS dan AP memenangkan/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum. 


- DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.


- RS kemudian melakukan pembelian produk Pertamax (Ron 92) dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga. Namun sebenarnya, hanya membeli Pertalite (Ron 90) atau lebih rendah. Kemudian, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92. 



- Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki selaku Dirut PT Pertamina International Shipping. Dalam hal ini, negara mengeluarkan fee sebesar 13 hingga 15 persen secara melawan hukum, sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.


Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menyebut negara dirugikan Rp193,7 triliun akibat aksi ketujuh tersangka. 



"Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari berbagai komponen,” ucap Abdul, Senin. 


Para tersangka akan menjalani penahanan selama 20 hari ke depan. 



Mereka diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.


Respons Pertamina 

Terkait kabar tersebut, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso pun buka suara. 


Fadjar menyebut, pihaknya menghormati Kejagung dalam menjalankan tugas. 



"Pertamina menghormati Kejaksaan Agung dalam menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (25/2/2025).


Ia memastikan Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar. 


Kendati demikian, Fadjar berharap, proses hukum berjalan dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. 


"Pertamina menjamin pelayanan distribusi energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan tetap berjalan normal seperti biasa," ujarnya


Sumber: Tribunnews 

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita