Mahfud MD: Grup Band Sukatani Tak Perlu Minta Maaf dan Tarik Lagu, Mencipta Untuk Kritik Adalah HAM

Mahfud MD: Grup Band Sukatani Tak Perlu Minta Maaf dan Tarik Lagu, Mencipta Untuk Kritik Adalah HAM

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO  -- Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan mestinya grup band punk asal Purbalingga, Sukatani, tidak perlu meminta maaf dan menarik lagunya 'bayar, bayar, bayar' dari berbagai platform digital.

Sebab, kata Mahfud MD, menciptakan lagu untuk kritik adalah hak azasi manusia (HAM) yang dilindungi.

"Mestinya grup band SUKATANI tak perlu minta maaf dan menarik lagu "Bayar Bayar Bayar" dari peredaran krn alasan pengunjuk rasa menyanyikannya saat demo (2025). Lagu tsb sdh diunggah di Spotify sblm ada unras (mnrt ChatGPT, Agustus 2023) dan "Menciptakan lagu utk kritik adl HAM," kata Mahfud MD melalui akun X-nya @mohmahfudmd, Sabtu (22/2/2025).

Sebelumnya, grup band Sukatani, melalui unggahan video di Instagram, tiba-tiba menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan institusi Polri, berkaitan dengan lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar”.


Lagu tersebut sempat viral karena liriknya yang banyak menyebutkan kata "bayar polisi".

Mereka memutuskan untuk menarik lagu tersebut dari berbagai platform digital dan meminta pihak lain untuk menghapusnya.

Ironisnya, dalam pernyataan tersebut, gitaris Muhammad Syifa Al Ufti atau Electroguy dan vokalis Novi Chitra Indriyaki alias Twistter Angels harus melepas topeng mereka.

Padahal, topeng merupakan identitas yang selalu mereka gunakan saat tampil di atas panggung.

Dalam pernyataannya, Sukatani menjelaskan bahwa lagu tersebut dibuat sebagai kritik terhadap polisi yang melanggar aturan. 

Terkait permintaan maaf Sukatani ini, banyak pihak yang menduga mereka mendapat intimidasi untuk minta maaf dan menarik lagunya.


Sementara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menegaskan, permintaan maaf band punk new wave Sukatani terhadap Polri, merupakan bentuk pembungkaman terhadap karya seni.

“Situasi ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk mempersekusi karya-karya seni yang kritis terhadap pemerintah,” tegas DKJ dalam unggahan Instagram-nya, dikutip Kompas.com, Sabtu (22/2/2025).


Tekanan terhadap seniman, menurut DKJ, tidak hanya berdampak pada individu atau kelompok yang menjadi target, tetapi juga tindakan swasensor.

“Peristiwa ini menunjukkan bahwa iklim kesenian semakin terancam oleh sensor dan pembatasan terhadap karya yang mengandung kritik sosial,” ucap DKJ.

DKJ berkomitmen berdiri bersama para seniman dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi dan berkesenian.

“Dewan Kesenian Jakarta mendorong pemerintah dan semua pihak terkait untuk menghormati dan melindungi hak-hak seniman dalam berkarya,” kata DKJ.

Pemerintah seharusnya juga memastikan ruang-ruang ekspresi seni tetap terbuka dan bebas dari intervensi yang tidak semestinya.

“Negara harus menjamin kebebasan berekspresi agar tidak ada pembungkaman karya karya seni baik oleh aparat maupun oleh pemilik ruang seperti yang terjadi belakangan ini,” ujar DKJ.

Dipelajari

Sedangkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan bahwa pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto mendukung kebebasan berekspresi.

Tetapi, kebebasan itu tidak boleh mengganggu kebebasan orang lain.

Hal itu dikatakannya soal polemik Sukatani dengan lagunya 'bayar, bayar, bayar'.

"Saya belum lihat ya, tapi nanti coba saya pelajari," kata Fadli Zon di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2025).

"Kita selalu mendukung kebebasan berekspresi. Tetapi tentu semua, kita tahu kebebasan berekspresi itu jangan sampai mengganggu hak dari orang lain dan kebebasan yang lain," jelas Fadli Zon.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu  mencontohkan bahwa kebebasan ekspresi tidak boleh sampai menyinggung suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). 

Fadli Zon menerangkan bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh mengganggu institusi. 

"Jangan sampai menyinggung suku, agama, ras, antar golongan. Bahkan juga institusi-institusi yang bisa dirugikan," terangnya.

"Tetapi kalau semangatnya, saya kira maksudnya kan yang memang kritik itu. Saya kira, tidak ada masalah. Tapi batasan-batasan itu lah," ujar Fadli Zon.

Fadli Zon meminta Band Sukatani mengkritik pelaku atau oknum dari institusi yang berbuat tidak benar.

Jika ingin kritik, kata Fadli Zon, tidak boleh diarahkan kepada institusi secara utuh.

"Mengkritik orang atau pelaku atau oknum saya kira sih tidak ada masalah kalau pelaku atau oknum. Tapi kalau itu bisa membawa institusinya ya kemudian terkena dampak, ini yang mungkin bisa jadi masalah," papar Fadli Zon.

Sementara Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, Polri tidak anti kritik.

"Saya jelaskan kembali, sebelumnya Bapak Kapolri sudah selalu menyampaikan bahwa institusi Polri yang modern salah satu syaratnya tidak anti kritik," kata Trunoyudo kepada wartawan, Jumat (21/2/2025).

Trunoyudo menjelaskan, Polri memiliki berbagai kegiatan setiap tahunnya yang membuka ruang bagi kritik.

Salah satunya stand-up comedy yang berfungsi sebagai media kritik. 

Selain itu, kegiatan seni seperti mural dan lukisan, serta musisi jalanan yang berpartisipasi dengan karya-karya yang mengkritik Polri turut memberikan kontribusi penting dalam proses evaluasi. 

"Saya ingin menjelaskan bahwa kritik kepada Polri itu menjadi evaluasi bersama yang berangkat dari suatu kecintaan dari masing-masing komunitas ini menyampaikan ekspresinya," jelasnya.

Trunoyudo menuturkan, kritik terhadap Korps Bhayangkara merupakan bagian dari evaluasi yang konstruktif.

"Intinya saat ini, sudah sampai penjelasan Polda Jawa Tengah dan kemudian ini bagian dari penjelasan Polri pada prinsipnya tidak anti kritik," tuturnya.

"Tentu bagian yang perlu dievaluasi secara konstruktif ini bagian perbaikan. Sekali lagi, Polri tidak anti kritik," papar Trunoyudo.

Sebelumnya massa aksi Indonesia Gelap yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menggelar unjuk rasa dengan menyanyikan lagu berjudul "Bayar, Bayar, Bayar" dari band Sukatani.


Dalam aksi tersebut, lagu itu diputar melalui mobil komando, dan massa aksi serentak bernyanyi bersama di area Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2025).

"Mau bikin SIM, bayar polisi. Ketilang di jalan, bayar polisi. Touring motor gede, bayar polisi," teriak massa aksi yang ikut bernyanyi, dilansir, Kompas.com, Jumat.

Aksi didominasi oleh peserta yang mengenakan pakaian berwarna hitam dan membawa sejumlah poster yang berisi kritik kepada pemerintah.

Sumber: Wartakota 
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita