Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Presiden RI Prabowo boleh mengesampingkan TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan UU Tentang MD 3 (UU. RI Nomor 13 Tahun 2019 ).
Hal ini disebabkan demi efisiensi kinerja Presiden yang butuh fokus kepada program kerja kabinet lainnya, karena mengingat dan menimbang TAP MPR tersebut sifatnya menunggu kesadaran sang menteri, sedangkan UU. MD.3 prosesnya berbelit-belit.
Prabowo konstitusional selaku Presiden yang mengenyampingkan TAP MPR RI dan UU. MD 3 dimaksud, oleh sebab hukum presiden memiliki hak privelege yakni hak prerogatif Jo. UUD 1945.
Dalam hubungannya dengan artikel ini, adalah terkait barang siapa petinggi pejabat publik dan atau penyelenggara negara ada temuan nyata terlibat atas kejahatan PSN PIK 2 atau telah sengaja melakukan pembiaran (diobedience) terhadap kasus yang merupakan bentuk kejahatan yang dapat memenuhi unsur-unsur makar, karena subtansial dengan sengaja (dolus) bahkan berencana ingin menguasai atau mengambil alih laut yang absolut merupakan hak kedaulatan negara lalu dijadikan hak bersertifikat dan telah sah diperjualbelikan.
Maka secara hukum Prabowo dapat memberhentikan sementara atau langsung memecat pejabat publik yang bersangkutan dan mempersilahkan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka sesuai ketentuan hukum, termasuk para notaris dan PPAT yang mengesahkan transaksi perjanjian dan atau jual beli laut termasuk transaksi perbankan pemberian hipotik, baik atas dasar culfa/ lalai atau faktor dolus/ sengaja berkolusi dengan pihak-pihak pelaku kejahatan sehingga terbitnya sertifikat makar/ aanslag.
Selanjutnya terhadap pertanggungjawaban hukum para Notaris yang terlibat, Presiden hanya butuh memerintahkan Yusril Ihza Mahendra menangani proses hukum sebagai Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Dan memerintahkan kepada Nusron Wahid yang bertanggung jawab dan berwenang terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berada di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Serta terkait kredit perbankan dan pemberian hipotik Menkeu harus pro aktif mengeksekusi para bankir bandit sang terlibat, melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) bertanggung jawab terhadap perbankan di Indonesia. (*)