Prabowo dan Bayang-bayang

Prabowo dan Bayang-bayang

Gelora News
facebook twitter whatsapp


OLEH: MOH. SAMSUL ARIFIN*
   
HANYA sepekan selepas pemilihan presiden dan wakil presiden 2024, Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden nomor 13/TNI/tahun 2024. Kepres ini menganugerahkan pangkat secara istimewa, yakni Jenderal TNI kehormatan, kepada Prabowo Subianto. Pada 28 Februari, atau sepekan setelah kepres itu terbit, Joko Widodo yang saat itu presiden menyematkan jenderal bintang empat kepada Prabowo.

Putra Sumitro Djojohadikusumo itu pun menjemput mimpinya yang sempat kandas akibat kejadian di tahun 1998 yang bikin dia terpental karena diberhentikan dari dinas keprajuritan di tentara nasional Indonesia (TNI).


Ada yang menyebut ini  semacam "utang budi" Prabowo kepada Jokowi. Saat itu pertanyaan kenapa baru sekarang dan mengapa usai pesta demokrasi, Pemilu 2024, mencuat.

Dalam relasi dengan Jokowi, yang belakangan diakui Prabowo sebagai mentornya, ada sejumlah titik balik dalam sepak terjang politik Prabowo.

Pertama, ketika Jokowi mengajak Prabowo untuk bergabung dengan kabinet Indonesia Maju, pada Oktober 2019. Ini sangat monumental sebab seteru atau rival Jokowi di Pilpres 2019 dan 2014 itu bergabung dalam kabinet: Menjadi Menteri Pertahanan. Imbas tak terperi dari keputusan "meruntuhkan tembok" perseteruan Jokowi versus Prabowo (sempat direpresentasikan sebagai "cebong" versus "kampret") itu membuat kekuatan penyeimbang (check and balances) di DPR berkurang secara drastis. Praktis sejak saat itu kekuatan oposisi melemah dalam batas yang paling mengkhawatirkan selama era reformasi.

Kedua, titik balik berikutnya lebih mengejutkan lagi saat Prabowo berduet dengan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024. Duet ini hasil dari kesepakatan "mau sama mau", "tahu sama tahu" serta menegaskan pertemuan dan persatuan ide-ide politik Prabowo dengan Jokowi -- seteru yang kemudian bersalin rupa menjadi guru dan murid.

Dengan Prabowo terpilih sebagai nakhoda republik, konsep dan program pembangunan yang digagas Jokowi selama sepuluh tahun berkuasa di negeri kita lebih berpeluang dilanjutkan. Isyarat ini terbaca betul saat mendapati 17 menteri dan wakil menteri di kabinet Jokowi dipercaya oleh Prabowo untuk membantunya di kabinet Merah Putih. 

Dalam politik mutakhir Indonesia, sosok Prabowo hari ini, tak dapat dipisahkan dari Jokowi. Dia memang masih Prabowo tahun 2014 yang menjajakan ide populisme progresif, tapi tak bisa tidak dia dipengaruhi serta tak mungkin menepis pengaruh dan faktor Jokowi sebagai bidan lahirnya duet Prabowo-Gibran. Untuk mengeceknya, selepas dilantik menjadi presiden, coba cermati berapa kali Prabowo bertemu Jokowi, entah itu di Solo atau Jakarta? Ini menjelaskan spekulasi dan hipotesis bahwa Prabowo berada di bawah bayang-bayang Jokowi tidak seluruhnya salah.

Di bawah bayang-bayang seseorang bisa bermanfaat, dapat juga menangguk mudharat. Di sini Prabowo bertemu dilema. Satu sisi, sang presiden memiliki kewajiban mewujudkan ide keberlanjutan atau kontinyuitas program pembangunan pendahulunya itu. 

Sisi lain, Prabowo berasal dari satu poros politik lain, yakni Partai Gerindra, yang tentu saja beda dengan haluan politik yang membentuk dan melahirkan Jokowi, yaitu PDI Perjuangan -- betapa pun akhirnya Jokowi berpisah jalan dan lalu dipecat oleh partai banteng moncong putih itu. Sulit diingkari, politik Indonesia memang unik dan khas: Menganut sistem multipartai di mana jarak atau perbedaan ideologi antarpartai politik begitu rapat, sehingga menjadi insentif pengelompokan atau koalisi politik yang cair. 

Prabowo meneruskan atau melanjutkan ide dan program dari presiden pendahulu yang notabene bukan berasal dari partai yang sama. Ini khas Indonesia, beda dengan Amerika Serikat di mana kalau Kamala Harris menang atas Donald Trump dalam Pilpres AS 2024, Kamala pasti melanjutkan program Joe Biden yang berasal dari kapal yang sama, Partai Demokrat.

Kalau begitu di mana relevansi keberlanjutan yang diusung Prabowo? Tentu saja ini berkait dengan komitmen dan janji-janji yang disampaikan Prabowo-Gibran dalam kampanye. Ada kewajiban etis untuk menepatinya, dan karena etika itu, praktis Jokowi sebagai ide, ilham, atau inspirasi tak dapat ditolak atau ditanggalkan oleh Prabowo. Apa yang dapat ditafsirkan atas penambahan kata "hilirisasi" pada Kementerian Investasi dan Hilirisasi? Ini jelas menunjukkan program hilirisasi akan diteruskan, bahkan cakupannya diperluas hingga komoditas pangan. 

Tapi, apakah 17 menteri atau wakil menteri bekas anggota kabinet Jokowi merupakan insentif agar Pemerintahan Prabowo melaju kencang?

Center of Economic and Law Studies (Celios) menggelar survei berbasis "expert judgement" terhadap 95 jurnalis dari 44 media massa untuk melihat rapor 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran. Hasil dari survei yang dirilis 21 Januari 2025 itu memaparkan, empat menteri bekas anggota kabinet Jokowi masuk 10 menteri dengan kinerja buruk serta empat anggota kabinet Jokowi lainnya nangkring di 10 besar menteri terbaik. Artinya bekas anggota kabinet Jokowi yang saat ini duduk di kabinet Merah Putih bukan menjadi jaminan mutu. Sebagian dinilai punya kinerja buruk, tapi sebagian lagi memiliki kinerja baik -- setidaknya menurut hasil sigi Celios. 

Saya ingin mencermati penilaian ahli atau para jurnalis tadi ketimbang hasil survei Litbang Kompas dan Indikator Politik Indonesia menyangkut kepuasan publik terhadap seratus hari Pemerintahan Prabowo-Gibran. Iya, sungguh pun dua jenis survei ini tidak dapat dibandingkan.

Sekitar 2023 silam, pendiri SMRC, Saiful Mujani pernah membuat ulasan logis menyangkut tingginya tingkat kepuasan publik terhadap Pemerintahan Jokowi. Saat itu Jokowi dikritik habis buntut tampilnya Gibran sebagai cawapres dari Prabowo. Musababnya, Mahkamah Konstitusi dinilai telah menerbitkan keputusan yang memberi jalan lapang kepada Gibran yang belum 40 tahun untuk mencalonkan diri di Pilpres 2024. Ini skandal etis yang dikenang telah bikin muruah MK sempat anjlok ke titik terendah.

Menurut Saiful, tingkat kepuasan kepada Jokowi saat itu dipengaruhi oleh kurangnya informasi responden survei menyangkut kerja atau hal ihwal yang dilakukan pemerintahan, tak lain objek yang sedang dinilai oleh responden. Sesuatu yang logis belum tentu fakta, tapi selama logika itu tak dapat dibuktikan salah atau keliru, ia dapat dipinjam untuk memahami hasil survei sejenis.

Untuk menyebut contoh, responden awam tahu ala kadarnya menyangkut program makan bergizi gratis (MBG) yang digeber oleh pemerintahan Prabowo. Tapi jurnalis yang disigi Celios, dapat diduga, punya pengetahuan dan informasi yang lebih mendalam tentang MBG berikut segepok masalah yang menyeruak di balik program andalan ini. 

Begitu pula mereka, responden survei Celios, paham atas kasus pagar laut di Tangerang yang awalnya misterius hingga kepergok ada sertifikat hak guna bangunan (SHGB) serta sertifikat hak milik (SHM) berikut nama pemiliknya. Ratusan sertifikat tadi terbit antara 2022-2023, kata Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid. Alias masih di masa Pemerintahan Jokowi. Dan dalam meniti di antara manfaat dan mudharat tadi, Prabowo dituntut berani "berkata tidak" atas kebijakan pendahulunya yang dinilai salah. Perintah membongkar pagar laut di Tangerang oleh Presiden Prabowo adalah pernyataan penting bahwa keberlanjutan yang diusungnya itu selektif dan bersyarat.

Sekarang, jubah Prabowo adalah presiden, seorang presiden kedelapan dari republik yang diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta ini. Dia bukan lagi pembantu presiden, menteri pertahanan. Saya kira sejak memanggil calon menteri ke Kertanegara, memberi pembekalan di Hambalang dan Magelang, serta mengangkat para pembantunya itu, Prabowo tahu dengan pasti bahwa ia wajib menjadi diri sendiri.

Salah satu cara termudah untuk menjadi diri sendiri adalah lekas lepas dari bayang-bayang. Dan saya tidak yakin kabinet 109 menteri dan wakil menteri itu cara jitu untuk membantu sang presiden dapat bekerja tangkas, lincah dan terarah dalam mencapai tujuan yang tidak gampang, menggapai pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen. 

Kabinet ini terlalu gemuk, layak dikaji ulang. Tak perlu menunggu berlama-lama untuk dirampingkan. Bulan madunya jangan terlalu lama. 

(Penulis adalah mantan Produser Eksekutif Beritasatu TV)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita