GELORA.CO - Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan sejumlah permohonan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold pada Kamis (2/1) hari ini.
Dikutip dari laman resmi MK, Kamis (2/1/2025), ada empat gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden yang akan diputuskan hari ini. Diantaranya yaitu perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan perkara No. 101/PUU-XXI/2024 diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT).
Kemudian perkara No. 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Dian Fitri Sabrina, Muhammad, Muchtadin Alatas dan Muhammad Saad. Lalu terdapat perkara nomor 129/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra.
Para pemohon itu pada intinya menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden yaitu 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.
"Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya," bunyi pasal tersebut.
Terpisah, Pakar Kepemiluan yang juga salah satu penggugat Titi Anggraini berharap MK dapat menciptakan sejarah baru. Sebab, dua gugatannya prihal ambang batas pencalonan presiden, ditolak.
"Ini perjuangan panjang setelah dua permohonan kami sebelumnya ditolak MK. Semoga sejarah baik akan tercipta di awal tahun 2025. Aaamiin," tulisnya dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, @tanggraini.
Dia menilai, sudah saatnya MK merekonstruksi persyaratan pencalonan presiden, setelah sebelumnya mengubah syarat ambang batas pencalonan kepala daerah.
Prihal gugatan mana yang nantinya dikabulkan, Titi meyakini putusan MK jadi arah baru demokrasi di Indonesia.
"Pasca Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 yang merekonstruksi persyaratan ambang batas pencalonan kepala daerah, kini saatnya MK merekonstruksi persyaratan pencalonan presiden. Apalagi menurut Putusan MK No.85/PUU-XX/2022, pilkada adalah pemilu. Tidak mungkin ada distorsi syarat untuk tipologi kontestasi yang sama. Soal perkara siapa yang nantinya dikabulkan, bagi kami itu pasti akan jadi arah baru demokrasi Indonesia. Semoga."
Sebagai informasi, MK pernah memutuskan perkara yang sama. Hakim Konstitusi Saldi Isra pada Februari 2024 lalu menyampaikan bahwa norma pada pasal 222 itu telah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.
Sumber: era