Oleh: Irjen Pol (Purn) Sisno Adiwinoto
SEKARANG ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam posisi menuju Indonesia Emas, karenanya diperlukan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang arif bijaksana, penuh kewaspadaan dan kehati-hatian serta punya wawasan luas. Hal ini untuk menghindari sikap konyol, tendensius dan trial and error. Harus tercipta situasi yang kondusif, guna terwujudnya Indonesia Emas tersebut pada tahun 2045.
Dalam konteks itu, polemik usulan Polri di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri, tidak perlu dibesar-besarkan. Berikut beberapa hal (cuplikan/kutipan) penting yang perlu menjadi perhatian kita, khususnya terkait kedudukan Polri.
Jangan Pernah Melupakan Sejarah (Jangan Mengulangi Kegagalan)
Suatu keniscayaan sebagai bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah, di antaranya sejarah perihal kedudukan Polri yang sudah berubah berulang kali, yaitu:
a. Pada awal masa kemerdekaan, kepolisian berada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara (DKN). Saat itu DKN hanya bertanggung-jawab atas masalah administrasi, sedangkan masalah operasional berada di bawah tanggung jawab Jaksa Agung.
b. Kemudian, mulai 1 Juli 1946, berdasarkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No.11/S.D., Djawatan Kepolisian Negara bertanggung-jawab langsung kepada Perdana Menteri.
c. Pada masa Kabinet Presidensial, tanggal 4 Februari 1948, dikeluarkan Ketetapan Pemerintah No.1/1948 yang menetapkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia dipimpin langsung oleh Presiden atau Wakil Presiden dalam kapasitas mereka sebagai Perdana Menteri atau Wakil Perdana Menteri.
d. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda, terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Keputusan Presiden RIS No.22 tahun 1950, Djawatan Kepolisian RIS berada di bawah Perdana Menteri melalui Jaksa Agung dalam hal kebijakan politik Kepolisian. Sementara itu, tanggung jawab administrasi dan pembinaan berada di bawah Menteri Dalam Negeri. Namun, RIS hanya bertahan beberapa bulan.
e. Sebelum pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950, dengan Ketetapan Presiden RlS No.150 tanggal 7 Juni 1950, organisasi kepolisian di negara-negara bagian di satukan dalam Djawatan Kepolisian Indonesia. Dalam proses penyatuan tersebut, disepakati bahwa Kepolisian Negara dipimpin secara sentral, baik dalam kebijakan strategis kepolisian maupun aspek administratif dan organisatoris.
f. Pada periode 1950-1959, dengan terbentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap bertanggung jawab kepada Perdana Menteri atau Presiden.
g. Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI, yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian. Namun, Kapolri saat itu, RS Soekanto, menyampaikan keberatan dengan alasan untuk menjaga profesional kepolisian. Meskipun demikian, melalui TAP MPRS No. lI tahun 1960, ditetapkan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara.
h. Berdasarkan Keppres No. 21/1960, jabatan Menteri Muda Kepolisian dihapuskan dan digantikan dengan jabatan Menteri Kepolisian Negara, yang menjadi bagian dari bidang keamanan nasional.
i. Pada 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok Kepolisian No.13/1961, yang menetapkan kedudukan POLRI sebagai salah satu unsur ABRI yang setara dengan TNI AD, AL, dan AU.
j. Dengan Keppres No. 94/1962, koordinasi antara Menteri/Kepala Kepolisian Negara, Menteri Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Jaksa Agung, dan Menteri Urusan Veteran dilakukan oleh Wakil Menteri Pertama Bidang Pertahanan dan Keamanan.
k. Selanjutnya, melalui Keppres No. 134/1962, istilah Menteri Kepolisian diubah menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak). Kemudian, jabatan tersebut kembali diubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) yang bertanggung jawab kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
l. Berdasarkan Keppres No. 290/1964, Polri ditetapkan memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai Alat Negara Penegak Hukum, Koordinator Polisi Khusus (Polsus), peserta dalam Pertahanan, pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta sebagai Alat Revolusi.
m. Pada masa Orde Baru (1966-1998), Polri berada di bawah Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI), yang mengintegrasikan TNI (AD, AL, AU) dan Polri. Hal ini menyebabkan Polri kehilangan identitasnya sebagai aparat sipil yang seharusnya fokus pada penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan dalam negeri.
Polri berada di bawah komando Panglima ABRI yang bertanggung jawab kepada Presiden, Polri tanpa independensi. Kapolri memiliki otonomi terbatas karena kebijakan operasional ditentukan oleh Panglima ABRI. POLRI sering diarahkan untuk memprioritaskan stabilitas politik daripada menjalankan tugas sipil, seperti penegakan hukum dan pelayanan masyarakat. Sebagai bagian dari ABRI, Polri berfungsi sebagai instrumen kekuasaan pemerintah untuk menjaga status quo dan mendukung agenda politik Orde Baru.
Hal ini terlihat dari perannya dalam penindakan terhadap oposisi dan pengawasan ketat kepada masyarakat. Tugas Polri sering berbenturan dengan tugas TNI yang berfokus pada pertahanan negara dari ancaman militer, menciptakan tumpang tindih peran yang merugikan efektivitas Polri.
Kultur militeristik di Polri dengan penekanan pada hierarki dan kepatuhan mutlak, menciptakan peran represif yang bertentangan dengan tugas utama Polri sebagai penegak hukum dan pelayan masyarakat.
Kondisi ini pada gilirannya menampilkan wajah Polri yang cenderung militeristik yang tentunya sangat bertolak belakang dengan tugas dan tanggung jawab Polri serta menghilangkan nilai-nilai sipil yang seharusnya dimiliki oleh Polri.
Tidak heran jika pada akhirnya tindakan Polri di masa Orde Baru rentan dengan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagai bagian dari pendekatan Polri yang salah dalam menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya.
Hal ini juga yang mengakibatkan terhambatnya upaya Polri membangun kepercayaan publik dan menjalankan tugas profesional. Tentunya, sebagai bangsa besar yang punya peradaban tinggi, kita tidak akan mengulangi pengalaman buruk pada masa lampau.
Secara esensial, Polri dan TNI memiliki tugas berbeda, Polri menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum, sedangkan TNI berfokus pada menjaga kedaulatan negara dan melindungi dari ancaman eksternal.
Kedudukan Polri Saat Ini sebagai Produk Kehendak Rakyat Era Reformasi
Era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satunya adalah dalam struktur dan fungsi Polri. Reformasi Polri ditandai dengan ditetapkannya TAP MPR VI/MPR RI Tahun 2000, hal ini menjadi landasan pembentukan Undang-Undang 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik lndonesia, yang secara resmi mengatur posisi Polri sebagai lembaga independen di bawah Presiden sebagai bentuk kemandirian Polri tidak lagi berada di bawah ABRI atau kementerian lainnya, melainkan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Polri untuk bisa kembali ke jati dirinya sendiri dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Aparat Negara Penegak Hukum, sekaligus sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Jati diri Polri diwujudkan antara lain:
a. Dalam bidang Harkamtibmas
Polri diharapkan mampu menampilkan sosok humanis yang mampu menjaga dan memelihara Kamtibmas dengan baik, memberikan perlindungan, pelayanan dan pengamanan dengan baik kepada masyarakat dalam mewujudkan situasi yang aman dan kondusif.
Upaya menciptakan Kamtibmas yang kondusif dapat dilakukan melalui upaya preemtif melalui himbauan kepada masyarakat, sambang maupun kegiatan preventif berupa patroli, pengamanan masyarakat, penjagaan obyek vital maupun fasilitas umum, sehingga Kamtibmas dapat terwujud di tengah masyarakat. Polri juga diharapkan mampu bertindak responsif terhadap kebutuhan masyarakat sebagai upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat.
b. Profesionalisme Polri
Polri dituntut untuk menjadi institusi yang lebih profesional. Polri diharapkan memiliki kompetensi tinggi dalam penegakan hukum, pengawasan, dan pelayanan masyarakat, serta menerapkan prinsip integritas, transparansi, dan akuntabilitas.
Meskipun telah dilakukan berbagai upaya pembenahan melalui Program Reformasi Polri masalah-masalah tersebut belum sepenuhnya teratasi. Kasus penyalahgunaan wewenang oleh oknum polisi, pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan ketidakmampuan dalam menegakkan hukum secara adil dan merata tetap menjadi sorotan publik, menunjukkan bahwa Polri belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat.
Masyarakat mengharapkan penegakan hukum yang profesional, tidak tebang pilih, tidak tajam ke bawah tumpul ke atas, penyelesaian restorative dalam mencapai keadilan dan mendudukan hukum sebagai panglima tertinggi dalam mewujudkan keadilan masyarakat.
c. Netralitas Polri
Netralitas Polri merupakan hal yang sangat penting. Di era demokrasi, Polri seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis atau mendukung pihak tertentu, karena netralitas Polri menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik.
Namun, dalam praktiknya, adakalanya Polri menghadapi tekanan politik, terutama selama Pemilu atau Pilkada, sehingga menyebabkan dapat merusak netralitas dan menimbulkan keraguan tentang objektivitas dalam penegakan hukum.
Ketidaknetralan Polri berdampak serius pada penegakan hukum dan kepercayaan masyarakat. dianggap tidak netral, keputusan Polri dapat dipertanyakan kredibilitasnya, menciptakan ketidakadilan berdasarkan afiliasi politik. Hal ini merusak integritas institusi dan mengurangi efektivitas Polri dalam menjalankan tugasnya, meningkatkan ketidakpuasan masyarakat, hingga potensi terjadinya konflik sosial.
Polri sebagai Aparat Negara masih terus berbenah diri untuk menjadi POLRI Presisi dalam penyelenggaraan tugas Kamtibmas demi terwujudnya Kamdagri yang merupakan bagian dari Keamanan NKRI. rmol.id
(Penulis adalah Pengamat Kepolisian)