OLEH: SALAMUDDIN DAENG
DENGAN posisi APBN Indonesia yang sekarang, mustahil bagi negara ini keluar dari zona pertumbuhan maksimum 5 persen. Bahkan dengan APBN yang ada sekarang, ditambah dengan kebijakan pengetatan anggaran atas nama kebijakan kencangkan ikat pinggang, maka pertumbuhan akan jatuh lebih bawah lagi.
Dalam situasi daya beli masyarakat yang jatuh, pertumbuhan ekonomi besar akan bisa dipompa oleh APBN yang besar. APBN yang besar akan ditentukan oleh desain sistem ekonomi yang dapat memompa pertumbuhan.
Hanya intervensi pemerintah melalui belanja pemerintah yang besar dapat menggairahkan ekonomi sekarang.
Namun sayang, APBN Indonesia didesain oleh agen dan dipertahankan lemah agar bisa tetap bergantung pada utang. Makelar APBN bersekutu dengan agen utang dalam kabinet dengan cara memperlemah APBN.
Berikut faktanya:
APBN Indonesia tidak pernah naik secara real dibandingkan 10 tahun lalu jika diukur dalam mata uang Dolar. Pada masa pemerintahan SBY, kurs rata-rata Rp7.000-8.000 per Dolar. Sekarang Rp15.500 per Dolar. Dulu APBN terakhir SBY Rp1.600 triliun atau Rp220 miliar Dolar. Sekarang APBN 2025 dirancang Rp3.600 triliun atau 220 miliar Dolar. Sama saja.
APBN dibuat tergantung pada utang, sehingga walaupun APBN tidak bertambah dalam Dolar, namun utang Indonesia bertambah dalam Dolar. Karena pelemahan kurs. Jadi APBN Indonesia akan selamanya lemah dalam perdagangan internasional atau hubungan apa pun secara internasional. Sementara utangnya dalam Dolar terus bertambah dan mengenal kata turun.
Pemerintahan Prabowo harus mencari jalan keluar atau jalan untuk keluar dari sistem APBN yang lemah, dan dilemahkan secara sistematis untuk membuat negara tergantung pada utang dari sektor swasta dan dari luar negeri. APBN yang seperti ini tidak akan meningkatkan kapasitas negara dalam berbagai bidang di tengah ancaman internasional yang meningkat seperti krisis, perang dan perubahan iklim serta transisi sistem moneter dan digitalisasi.
Ancaman ke depan akan sangat besar, terutama karena masalah geopolitik dan rekayasa krisis Pemerintahan Prabowo harus mengambil pelajaran dari pandemi Covid-19 kemarin yang terpaksa menambah utang sebesar Rp3.000 triliunan dalam 3 tahun Covid.
Utang ini didapat dari BI. Skenario pengadaan utang dari BI telah menambah masalah keuangan Indonesia saat ini. Mengapa BI bisa mengadakan uang tapi pemerintah tidak? Ini bahaya.
Indonesia harus mengubah secara total sistem fiskal yang bersandar pada pajak. Selama 10 tahun terakhir, sistem pajak ini telah membuat Indonesia gagal meningkatkan pendapatan negara secara riel. Pemerintah perlu membuat kebijakan bagi hasil secara mutlak dalam seluruh kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
Di luar masalah langsung APBN, pemerintah perlu memikirkan UU terkait yang selama ini membuat APBN lemah, yakni UU Perpajakan, UU Sumber Daya Alam, UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU Perbankan agar sejalan dengan strategi memperkuat sistem keuangan nasional.
Semua UU tersebut harus direvisi sejalan dengan visi misi presiden terpilih. Pemerintah perlu segera melaksanakan UU MLA dalam rangka penyelamatan aset. Kekayaan dan keuangan negara.
Semoga Presiden Prabowo bisa keluar dari persekutuan para makelar APBN, makelar utang yang bersekutu mendesain APBN lemah agar bisa bergantung pada utang.
(Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)