GELORA.CO - Pelaksanaan Pilkada 2024 meninggalkan banyak catatan kritis dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Pakar hukum tata negara UII, Suparman Marzuki menyatakan Pilkada 2024 banyak ditemukan anomali demokrasi.
Kendati demikian, ia menyebut bahwa Pilkada merupakan bagian dari upaya mencari formula terbaik dalam pelaksanaan demokrasi prosedural yang dimandatkan konstitusi.
“Oleh karena itu, mulai 2004 sampai 2019 pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ini dinilai lebih partisipatif, lebih mengurangi kemungkinan politik uang dan dianggap lebih demokratis,” kata Suparman dikutip dari kanal YouTube Mahfud MD Official, Senin, 9 Desember 2024.
Namun, mantan anggota Komisi Yudisial itu melihat banyak kekurangan pada Pilkada 2024 yang saat ini masih proses penyelesaian di 37 provinsi dan 514 kabupaten/kota.
“Ini pemilukada terbesar dalam sejarah Indonesia sejak era reformasi. Barangkali inilah yang sering disebut oleh Prof. Mahfud sebagai upaya membangun demokrasi atau tepatnya eksperimen demokrasi. Nah pemilu langsung 2024 yang diasumsikan sebagai model untuk membangun demokrasi prosedural lebih baik ternyata menghadirkan anomali-anomali demokrasi,” jelasnya.
Menurutnya, anomali pertama ialah tingkat partisipasi pemilih tidak seperti yang digembar-gemborkan yang akan mencapai 97 persen. Faktanya rata-rata nasional hanya mencapai 68 persen. Sebagai contoh di DKI Jakarta hanya 57 persen dan Sumatera Utara (Sumut) 55 persen.
“Itu dua tempat sebagai contoh saja untuk menunjukkan rendahnya partisipasi publik, partisipasi masyarakat dalam pemilukada kali ini,” ungkap dia.
Anomali yang kedua, lanjutnya, ada fakta satu partai pendukung calon berhadap pandangan multi-partai pendukung calon yang lain. Sambungnya, politik uang justru meningkat dan masif di berbagai daerah pada Pilkada 2024. Hal itu berdasarkan temuan Perludem, contohnya di DKI Jakarta dan Sumut.
“Anomali demokrasi yang ketiga adalah meningkatnya atau meningginya dinasti politik, keterkaitan calon dengan dinasti pimpinan sebelumnya,” urai Suparman.
Masih kata dia, anomali yang keempat ada benda mati atau kotak kosong berhadapan dengan subjek hukum atau orang dalam pemilu.
“Sebahagian dari pemilihan kepala daerah, itu dimenangkan oleh kotak kosong. Luar biasa Indonesia, kotak kosong memenangkan pemilihan umum. Kotak kosong meningkat dibanding 2020, 2020 kota kosong 25, 2024 kotak kosong meningkat 41. Ini menandakan demokrasi kita tidak lebih baik dari sebelumnya,” ungkapnya lagi.
Anomali demokrasi yang kelima dalam Pilkada 2024 ini adalah cawe-cawe atau intervensi politik dari Presiden Terpilih Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo.
“Dan lebih menyesakkan lagi, memalukan lagi, adalah cawe-cawenya mantan Presiden Joko Widodo. Harusnya dia berdiam diri menjadi teladan, menjadi bapak bangsa. Sangat disayangkan Joko Widodo tidak justru memperbaiki citranya yang negatif di ujung kekuasaannya beberapa waktu yang lalu, tapi tampaknya dia memang tidak ingin menjadikan dirinya sebagai mantan Presiden yang dikenang memiliki reputasi yang baik,” bebernya.
Terakhir, anomali yang keenam, lanjut Suparman ada dugaan kuat campur tangan aparat keamanan, khususnya kepolisian dalam sejumlah pilkada.
“Mudah-mudahan dugaan ini tidak benar, tetapi asumsi publik begitu menguat, sehingga ada istilah Partai Coklat. Ini yang membuat Pilkada 2024 tidak lebih baik dari pemilukada-pemilukada sebelumnya. Lalu kapan Indonesia akan muncul sebagai negara demokrasi prosedural yang sehat? Ini pertanyaan untuk kita semua,” pungkasnya.
Sumber: rmol