GELORA.CO - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup jemblok hingga tembus Rp 16.000 pada perdagangan Jumat sore (13/12/2024). Hal itu karena pasar dilanda keraguan besar soal rencana jangka panjang suku bunga The Fed.
Mata uang rupiah ditutup melemah 64 point (0,4%) berada di level Rp 16.008 per dolar AS. Nilai tukar rupiah sempat ditutup melemah 25 poin (0,1%) di level Rp 15.944 pada Kamis (12/12/2024). Sedangkan indeks dolar terlihat naik 0,06 poin menjadi 107,06.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, pada perdagangan menjelang akhir pekan ini, mata uang rupiah sempat jatuh ke titik terendah karena melemah 70 point, sebelum akhirnya ditutup di level Rp.16.008. “Sedangkan untuk Senin depan (16/12/2024), mata uang rupiah fluktuatif. Namun, ditutup melemah direntang Rp. 15.090 – Rp.16.070,” ungkap Ibrahim, Jumat (13/12/2024).
Ibrahim menjelaskan, pelemahan rupiah terjadi karena bank sentral secara luas diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps). Namun, disisi lain, pasar menjadi semakin tidak yakin atas rencana jangka panjangnya untuk suku bunga. “Hal itu karena data minggu ini menunjukkan inflasi AS tetap tinggi,” tambah Ibrahim.
Menurut Ibrahim, The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga dengan kecepatan yang lebih lambat pada 2025 setelah memangkas suku bunga sebesar 75 bps sejauh ini pada 2024. Kebijakan ekspansif dan inflasi di bawah Presiden terpilih ASDonald Trump juga diperkirakan akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka panjang. Selain Fed, keputusan suku bunga di Jepang dan Inggris juga akan menjadi fokus minggu depan.
Selain itu, lanjutnya, Investor kecewa dengan serangkaian langkah stimulus agresif setelah pembaruan dari Konferensi Kerja Ekonomi Pusat (CEWC) China, pertemuan dua hari yang berakhir pada Kamis (12/12/2024). Sebuah pernyataan media pemerintah menunjukkan bahwa China telah berjanji untuk meningkatkan defisit anggarannya, meningkatkan penerbitan utang, dan melonggarkan kebijakan moneter untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah ketegangan perdagangan yang diantisipasi dengan AS.
Namun, pasar melihat kebijakan tersebut tidak mungkin memberikan momentum ekonomi langsung yang dibutuhkan untuk melawan tekanan deflasi China. Di CEWC, Beijing menetapkan target untuk pertumbuhan ekonomi, defisit anggaran, penerbitan utang, dan variabel lain untuk tahun mendatang. “Target tersebut disetujui pada pertemuan tersebut, tetapi tidak akan dirilis secara resmi hingga pertemuan parlemen tahunan pada Maret,” tambahnya.
Sementara dari dalam negeri, Ibrahim menyebut, dampak kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang diproyeksikan mulai berlaku pada 2025. Kebijakan tersebut berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp 75 triliun, efeknya terhadap ekonomi makro tidak dapat diabaikan.
“Resiko terhadap inflasi dan daya beli masyarakat harus diwaspadai. Sebagai contoh, pada 2022 ketika PPN naik menjadi 11%, inflasi meningkat hingga 0,95%dalam satu bulan. Dampak serupa bisa terjadi, bahkan lebih besar,” ucapnya.
Ibrahim menyebutkan, para ekonom memperingatkan potensi efek crowding out pada konsumsi dan investasi. Daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, kemungkinan besar akan tertekan dan ini bisa berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pentingnya alokasi yang tepat untuk pendapatan tambahan dari kenaikan PPN.
“Pendapatan tersebut harus diarahkan untuk mendukung program-program pro-rakyat, seperti subsidi kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur dasar,” tutupnya.
Sumber: investor