OLEH: AHMADIE THAHA
AH, PDIP! Sang partai pelopor, pencetus, sekaligus, seperti diakui, sebagai pelaku dosa politik dalam sejarah modern Indonesia: menghadirkan Joko Widodo ke panggung nasional. Hanya setahun sebelum periode kedua Jokowi berakhir, kita tahu PDIP menghadapi realitas harus berpisah dengan kadernya ini, bahkan memecatnya.
Kini, setelah dua periode pemerintahan Jokowi yang penuh "kerusakan kreatif" (atau destruktif, tergantung dari sudut pandang), kita mendengar permohonan maaf dari seorang Ketua DPP PDIP, Deddy Yevry Sitorus. Dengan gaya blak-blakan, ia menyebut kehadiran Jokowi sebagai dosa mereka. "Dosa kami," katanya. Tidak main-main.
Tapi tunggu sebentar, mari kita urai dosa ini dengan realita dan fakta. Awalnya, Anda sudah tahu, Jokowi hanyalah seorang tukang kayu yang bukan siapa-siapa, lalu jadi Wali Kota Solo. Saat itulah ia dengan cerdas memanfaatkan momentum, menawarkan mobil nasional, Esemka, dengan klaim pemesanan 6.000 unit. Rupanya, ini dikapitalisasinya sebagai strategi komunikasi tingkat dewa.
Video-video Esemka menjalar seperti virus, menggerakkan emosi rakyat yang terpesona. Saat itu, rakyat melihat Jokowi sebagai sosok sederhana yang siap membangun mimpi bangsa menghadirkan mobil nasional. Rakyat terbius, dan tanpa mereka sadari telah termakan oleh bualan indah mobil murah, padahal itu mobil rakitan asal Cina.
Begitulah. Lalu, keajaiban terjadi: PDIP, meski awalnya ragu, akhirnya terpesona oleh euforia rakyat yang tersihir mimpi. Bahkan Megawati Soekarnoputri, yang pada mulanya skeptis terhadap kader non-partainya, menyerah pada dorongan publik —dan, tentu saja, tekanan tokoh-tokoh lain, mungkin termasuk Prabowo Subianto.
Dari Solo, diklaim PDIP sebagai petugas partai, Jokowi melangkah ke Jakarta. Narasi tentang kejujuran dan kesederhanaan menjadi tiket emasnya. Di Jakarta, ia meraih perhatian lebih besar. Ia secara total "membeli" media sosial untuk menyihir massa. Tak ada satu kegiatannya yang tidak viral. Anda masih ingat bagaimana ia masuk gorong-gorong?
Dan dengan dukungan partai, siapa lagi kalau bukan PDIP yang barusan minta maaf, Jokowi melangkah lebih jauh, menjadi Presiden Republik Indonesia selama dua periode. Ya, dua periode yang diisi dengan visi membangun infrastruktur gemilang, menggaet oligarki dan hutangan, serta membuat demokrasi perlahan-lahan kehilangan sinarnya.
Tapi, baru belakangan para pendorong dan pendukungnya sadar, realitas politik bersifat situasional. Jokowi, yang dahulu dielu-elukan sebagai simbol reformasi, justru menjadi pion utama dalam permainan oligarki. Alasannya sederhana: pembangunan infrastruktur membutuhkan dana besar, dan siapa lagi yang lebih royal menggelontorkan dana selain para oligark?
Dari situ, karpet merah digelar untuk kepentingan segelintir orang, sementara janji-janji reformasi tinggal sekadar kenangan. Ambisinya tak terbendung, dan merasa didukung penuh oleh hampir seluruh pimpinan partai yang ditundukkannya duduk manis di Senayan, dia "menghalalkan segara cara" memaksakan visi misinya, antara lain melalui undang-undang Omnibus Law, pelemahan KPK, pemanfaatan MK, pembangunan IKN, dll.
Tidak berhenti di situ, Jokowi juga memperkenalkan politik dinasti, sebuah warisan yang bahkan Soeharto pun malu untuk mengklaim. Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, kini menjadi simbol terang-benderang dari ambisi keluarga. Bagi rakyat yang dulu mendambakan demokrasi sejati, ini merupakan pukulan telak.
Permintaan maaf Deddy Yevry Sitorus adalah angin segar di tengah keterpurukan. Bangsa Indonesia, yang terkenal permisif, kemungkinan besar akan memaafkan PDIP. Apalagi, Deddy juga menyebut soal pembagian dosa antara pihaknya dan pihak Jokowi yang harus ditanggung di hadapan Tuhan. Namun, maaf saja tidak cukup.
Permintaan maaf ini mesti diikuti dengan tobat nasional. PDIP harus menunjukkan kesungguhan untuk tidak mengulangi kesalahan serupa di masa mendatang. Kalau perlu, PDIP memelopori gerakan reformasi politik sejati, membangun sistem rekrutmen yang sehat, dan berjanji untuk tidak lagi memperdagangkan viralitas demi popularitas semu.
Kisah Jokowi adalah pelajaran mahal bagi kita semua. Bahwa seorang pemimpin tidak cukup hanya merakyat, ia harus benar-benar punya visi yang kokoh, istiqamah, keberanian melawan arus oligarki, dan komitmen menjaga amanat UUD 1945, termasuk soal demokrasi. Seorang pemimpin, tambahan dari ulama di Mukernas IV MUI, harus punya sifat jujur, amanah, fathanah dan tabligh.
PDIP, sebagai partai yang mengusung Jokowi, harus bertanggung jawab bukan hanya dengan permintaan maaf, tetapi juga dengan aksi nyata. Maka, wahai PDIP, mari akhiri cerita dosa ini dengan babak baru: babak reformasi sejati, yang sesungguhnya sudah kita perjuangkan bersama namun selalu dirusak oleh banyak pihak.
Dan untuk kita semua, mari berhenti terbius oleh viralitas dan janji-janji muluk. Cukup sudah, pengalaman kita dengan kepemimpinan semu Jokowi yang lahir dari realitas maya. Kita berhak mendapatkan pemimpin yang lebih baik. Jangan biarkan sejarah terulang lagi —atau kita akan kembali terjebak dalam siklus dosa politik yang sama.
(Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 23 Desember 2024.)