HAM dan PSN

HAM dan PSN

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - AKHIR-akhir ini semakin banyak kritik bermunculan terkait proyek-proyek berskala besar dan sangat besar yang sedang berlangsung. Sebagai contoh adalah Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), Wadas, dan tentu saja yang sedang "hot", Merauke.

Semua terkait dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang jumlahnya kini ada 14 proyek di berbagai tempat di Indonesia. 

PIK 2 merupakan PSN green area dan eco-city, yang merupakan areal pengembangan. Konon proyek ini dilakukan agar daya dukung lingkungan bisa dimaksimalkan dan berdampak pada ekonomi dan pariwisata skala besar.

Namun PIK 2 memunculkan berbagai isu, seperti ketidaksesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/kota, sebagian besar dari lokasi proyek ini masih merupakan wilayah hutan lindung, isu pembelian tanah dari warga dengan harga rendah, dan sebagainya.

Belum lagi ada isu kesenjangan sosial yang meningkat karena keberadaan proyek ini. Terkini, ada pernyataan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bahwa PSN PIK 2 akan dikaji ulang (Tempo, 29 November 2024).
 
Beralih ke contoh kedua, yakni Wadas. Di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sedang dibangun Bendungan Bener. Proyek ini membutuhkan batu andesit dari Desa Wadas untuk material pembangunan waduk. Namun, penambangan batu andesit tersebut ditentang warga karena dinilai merusak sumber mata air dan menghilangkan 124 hektare tanah yang sudah digunakan untuk pertanian dan peternakan warga.

Intensitas konflik terjadi sehingga ada bentrokan antara polisi dengan warga. Berita yang beredar kemudian adalah proses pembebasan lahan di Wadas sudah selesai 100 persen pada Agustus 2024 karena warga desa sudah "menyetujui" pembebasan lahan tersebut.

Contoh ketiga adalah proyek cetak sawah dan penanaman tebu berskala jutaan hektare di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Proyek ini berbasiskan semangat untuk pemenuhan kebutuhan gula nasional sehingga Indonesia bebas dari ketergantungan impor serta pemenuhan kebutuhan beras nasional dalam rangka swasembada pangan.

Namun, protes bermunculan dari masyarakat adat dan pihak-pihak terkait. Timbul kekhawatiran terhadap berbagai dampak negatif bagi masyarakat dan wilayah adat suku-suku, terkait sistem penghidupan, sosial, budaya dan religi masyarakat adat. Juga ada kekhawatiran terhadap kerusakan ekosistem dan gangguan terhadap biodiversitas berharga di wilayah ini.

Terkait hal ini, ada berbagai bentuk protes dan aspirasi yang dikeluarkan masyarakat adat dan pihak-pihak terkait, termasuk akademisi dan pemuka agama serta lembaga swadaya masyarakat.

Salah satunya adalah aspirasi menolak PSN Merauke yang dinyatakan dalam pertemuan antara perwakilan masyarakat adat dengan Komite II Dewan Pemerintah Daerah (DPD) dan kementerian terkait di Kantor Bupati Merauke, Papua, pada 2 Desember 2024. 

Tiga contoh di atas jelas menunjukkan adanya hal-hal fundamental yang kerap dipinggirkan pada proyek-proyek pembangunan, yakni terkait hak masyarakat lokal, yang tak bisa dilepaskan dari Hak Asasi Manusia (HAM). "Gangguan" terhadap hak-hak masyarakat ini ada yang sama, ada yang berbeda.

Di Wadas masyarakat mendapat tindakan berlebihan dari aparat, terganggu kawasan hidup dan penghidupannya, ketidakjelasan masa depan dan sebagainya. PIK 2, seperti yang dikutip dari rilis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan KontraS (7 November 2024), telah memunculkan berbagai persoalan HAM terkait keamanan, sosial, maupun ekonomi. Juga terjadi proses pemiskinan warga setempat.

Sementara itu, dua proyek besar di Merauke juga banyak mendulang kritik. Kritik terbesar adalah pada pengabaian hak-hak masyarakat adat. Beberapa di antaranya adalah hak penghidupan, hak atas tanah adat, serta hak mempertahankan budaya dan religi.

Seorang pemuka agama dari Papua, pada suatu diskusi online 1 Desember 2024, menyatakan bahwa PSN Merauke, selain bisa meminggirkan hak penghidupan masyarakat, juga bisa berdampak pada krisis mitologi, keyakinan, identitas budaya, diri, serta eksistensi sebagai suku. Belum lagi ada kekhawatiran akan rusaknya ekosistem di Merauke karena pembangunan skala besar tersebut.

Beberapa catatan tentang isu HAM dan PSN juga disuarakan keras oleh berbagai lembaga kredibel. Dalam Siaran Pers tertanggal 7 November 2024, LBH Jakarta dan KontraS menilai bahwa praktik-praktik seperti perampasan lahan, penutupan lahan sawah produktif, intimidasi menggunakan aparat dan kelompok vigilante, hingga kriminalisasi bagi mereka yang menolak pembangunan merupakan fenomena yang umum terjadi pada seluruh kawasan proyek PSN di Indonesia. 

Sementara itu, dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia, 10 Desember 2024, SETARA Institute merilis Indeks HAM Indonesia pada 2024, yang turun dibandingkan 2023. Salah satu yang dicatat SETARA adalah adanya berbagai praktik pengambilalihan wilayah-wilayah masyarakat dan bentuk-bentuk pelanggaran HAM lain "demi rezim investasi" yang terjadi di berbagai PSN di Indonesia.

Catatan serupa juga dikeluarkan oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) pada tahun 2024. Komnas HAM dalam tinjauannya tentang dampak PSN terhadap HAM menyimpulkan bahwa "PSN yang digadang-gadang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan, justru menimbulkan pelbagai dampak serius terhadap pelaksanaan HAM, baik hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maupun hak-hak kolektif dan hak-hak kelompok rentan". 

Berbagai kritik dan catatan tentang PSN tersebut tentu tak bisa dipandang remeh. Komnas HAM mengingatkan pentingnya penghormatan terhadap "hak atas pembangunan" yang melekat pada setiap manusia di setiap proses dan pelaksanaan kegiatan pembangunan, termasuk pada PSN.

Perlu dicatat bahwa hak atas pembangunan sendiri merupakan hak fundamental pada setiap manusia, yang berakar dari Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan Deklarasi Umum HAM (DUHAM), serta beberapa instrumen pokok HAM internasional lainnya.

Hak atas pembangunan telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 4 Desember 1986. PBB menyatakan bahwa hak atas pembangunan adalah hak yang tidak dapat dicabut (an inalienable right). Setiap individu dan seluruh umat manusia memiliki hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Selanjutnya, agenda global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) 2015 - 2030 juga menekankan pentingnya mencapai pembangunan dengan cara-cara berkelanjutan, tidak eksploitatif serta berkeadilan dengan prinsip “no one left behind”.  

Dalam catatan tahunan tersebut, Komnas HAM memberikan tujuh rekomendasi terhadap PSN di Indonesia. Salah satunya adalah meninjau ulang model pembangunan dalam bentuk PSN karena dipandang sangat eksklusif, menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran HAM yang terus berulang.

Rekomendasi lain adalah memastikan bahwa semua proyek pemerintah, termasuk PSN, baik yang dilakukan melalui anggaran negara atau pun kerja sama dengan swasta atau masyarakat adalah untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu atau kerabat. 

Sesudah menelaah hal-hal di atas, jelas terlihat cukup banyak persoalan yang harus dibenahi dari PSN ini. Saya kembali teringat pesan Bung Hatta -- yang kerap diulang oleh putri tertuanya, Meutia Hatta -- bahwa Republik Indonesia didirikan untuk menjadikan rakyat Indonesia adil, bahagia dan sejahtera.

Dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 jelas dinyatakan bahwa salah satu tujuan berdirinya Indonesia adalah untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Jadi, jika proses dan pelaksanaan pembangunan telah menunjukkan adanya berbagai tindakan dan potensi dampak tidak berkeadilan, tidak membuat rakyat bahagia dan sejahtera, maka tepatkah itu dilakukan?

Jika dalam prosesnya terjadi berbagai bentuk pelanggaran HAM seperti catatan-catatan di atas apakah model pembangunan ini benar sejalan dengan tujuan keberadaan Negara Indonesia? Semua ini tak pelak patut menjadi refleksi bersama. Saya pikir sudah saatnya Pemerintahan Prabowo membuka hati lebar-lebar untuk mendengar suara rakyat tentang PSN ini.

Sudah saatnya pula Pemerintah memastikan bahwa rakyat selalu menjadi subyek pembangunan. Dan tentu saja sudah waktunya pula Pemerintah memastikan bahwa setiap pembangunan, termasuk PSN, selalu berbasis pada HAM, bukan meminggirkannya.

Sumber: rmol
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita