GELORA.CO - Wacana penerapan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan melalui pengesahan RUU Perampasan Aset terus mengemuka. Political will maupun komitmen DPR terus dipertanyakan.
Padahal, masyarakat memandang instrumen UU Perampasan Aset sebagai langkah strategis untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Terutama, dalam kasus di mana pelaku sulit dijerat melalui proses hukum pidana konvensional.
Ahli Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya Hardjuno Wiwoho terus mendorong political will DPR agar segera mengesahkan RUU Perampasan Aset tersebut menjadi UU. Menurut dia, implementasi NCB di Indonesia tidak mudah karena membutuhkan keberanian politik dan kolaborasi yang nyata dari DPR.
”DPR harus segera mengambil langkah konkret dengan mengundang para ahli hukum, organisasi masyarakat sipil, dan publik untuk merumuskan regulasi yang matang dan dapat diterapkan secara efektif,” kata Hardjuno.
Dia menekankan pentingnya rancangan regulasi khusus untuk NCB terpisah dari kerangka hukum pidana seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Jika digabungkan dengan UU Tipikor, akan terjadi tumpang tindih yang berpotensi menghambat implementasi NCB.
Dia menilai, aturan khusus akan memberikan kejelasan hukum dan memudahkan implementasi, terutama untuk kasus-kasus di mana pelaku tidak dapat dituntut secara pidana karena meninggal dunia atau kurangnya alat bukti.
”Dalam konteks ini, NCB memungkinkan negara tetap dapat merampas aset yang terbukti berasal dari tindak pidana tanpa harus melalui proses pidana,” jelas Hardjuno.
Dia menjelaskan, berbagai tantangan yang mungkin muncul, terutama resistensi dari sektor politik dan birokrasi. Tidak sedikit kasus korupsi melibatkan aktor-aktor kuat di ranah politik dan birokrasi, sehingga diperlukan keberanian dan komitmen yang besar untuk mendorong instrumen ini.
Selain itu, pengawasan yang ketat dan transparansi menjadi kunci untuk memastikan penerapan NCB tidak melanggar hak asasi manusia dan tetap menghormati hak properti pihak ketiga yang tidak terlibat. Menurut Hardjuno, sebagian besar aset hasil korupsi sering disembunyikan di luar negeri. Pemerintah perlu memperkuat perjanjian bantuan hukum timbal balik dengan negara lain.
”Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia telah berhasil memanfaatkan NCB untuk memulihkan aset koruptor yang disembunyikan di luar negeri. Indonesia perlu belajar dari mereka,” tambah Hardjuno Wiwoho.
Hardjuno mendesak DPR untuk segera menunjukkan komitmen dalam pemberantasan korupsi dengan mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
”DPR harus melibatkan para ahli hukum dan masyarakat untuk memastikan RUU ini tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga relevan dengan kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pembahasan RUU ini tidak boleh dilakukan setengah hati,” tandas Hardjuno Wiwoho.
”Keterlibatan publik sangat penting untuk menciptakan regulasi yang transparan dan menjawab kebutuhan masyarakat dalam melawan korupsi,” imbuh dia.
Dengan langkah-langkah tersebut, Hardjuno optimistis Indonesia dapat mewujudkan sistem hukum yang lebih adil dan efektif, serta memastikan tidak ada lagi celah bagi pelaku korupsi untuk menikmati hasil kejahatan.
Sumber: jawapos