Dituduh Usul Naikkan Pajak, PDIP Beri Solusi dan Lempar Bola Panas ke Gerindra

Dituduh Usul Naikkan Pajak, PDIP Beri Solusi dan Lempar Bola Panas ke Gerindra

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi PDI Perjuangan, Dolfie Othniel Frederic Palit mengungkapkan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) bukan inisiatif partainya semata, melainkan keinginan pemerintahan Presiden ke-7 RI Jokowi.

Hal itu merespons tudingan dari Fraksi Gerindra bahwa UU HPP yang menjadi acuan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, merupakan inisiatif PDIP.

"UU HPP merupakan UU inisiatif pemerintahan Jokowi, yang disampaikan ke DPR tanggal 5 Mei 2021," ujar Dolfie kepada wartawan, Minggu (22/12/2024).

Dia lantas membeberkan, seluruh fraksi pada saat itu setuju untuk membahas RUU HPP yang merupakan usul inisiatif pemerintah. Pembahasan dilakukan antara pemerintah dengan Komisi XI DPR. Adapun dalam prosesnya, Dolfie merupakan ketua panitia kerja (panja) RUU HPP.

Pada 7 Oktobet 2021, RUU HPP disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR. Di periode itu, ada sembilan fraksi di parlemen, delapan setuju termasuk Gerindra. Hanya Fraksi PKS saja yang menolak.

"(RUU HPP) disahkan dalam paripurna tanggal 7 Oktober 2021. Delapan fraksi (F-PDIP, F-Partai Golkar, F-Gerindra, F-NasDem, F-PKB, F-Demokrat, F-PAN, dan F-PPP) menyetujui UU HPP, kecuali Fraksi PKS," ujar Dolfie.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa UU HPP merupakan udang-undang sapu jagat atau omnibus law yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai.

"UU ini juga mengatur Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon," kata Dolfie.

Meski UU HPP mengamanatkan PPN di tahun 2025 naik menjadi 12 persen, namun pemerintahan saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto bisa mengubah besaran PPN yang akan dinaikkan.

Menurutnya, pemerintah bisa saja mengusulkan besaran PPN di 2025 dalan rentang 5-15 persen. Artinya, sangat bisa bila pemerintahan yang baru memutuskan naik hingga 15 persen, atau sebaliknya yaitu diturunkan hingga 5 persen.

"Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif tersebut dalam rentang 5 persen-15 persen, bisa menurunkan maupun menaikkan. Sesuai UU HPP, Pasal 7 ayat (3), pemerintah dapat merubah tarif PPN di dalam UU HPP dengan Persetujuan DPR," ujarnya.

Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa kenaikan atau penurunan tarif PPN sangat bergantung pada kondisi perekonomian nasional.

"Oleh karena itu Pemerintah diberi ruang untuk menyesuaikan tarif PPN, naik atau turun," lanjutnya.

Dia menekankan, bila pemerintahan Prabowo tetap ingin menerapkan PPN 12 persen, seharusnya juga memperhatikan sejumlah hal ketika membahas APBN 2025, yaitu kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja, penghasilan masyarakat meningkat, pelayanan publik yang semakin baik, dan efisiensi, serta efektivitas belanja negara.

Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Wihadi Wiyanto mengungkapkan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diinisiasi oleh Fraksi PDI Perjuangan DPR.

Hal ini yang menjadi dasar naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. "Kenaikan PPN 12 persen itu adalah merupakan keputusan UU Tahun 2021, HPP. (PPN) 12 persen di 20245 dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan," kata Wihadi kepada wartawan, Sabtu (21/12).

"Itu kita bisa melihat dari yang memimpin panja pun dari PDI Perjuangan," imbuhnya.

Atas dasar tersebut, Anggota DPR Fraksi Gerindra itu mempertanyakan sikap PDIP yang belakangan keras mengkritik pemerintahan Presiden Prabowo Subianto atas kenaikan PPN menjadi 12 persen.

Menurutnya, sikap PDIP justru menyudutkan Prabowo tanpa mau melihat masa lalu bahwa UU HPP adalah keinginan dari partai berlambang kepala banteng moncong putih.

"Kalau sekarang pihak PDI Perjuangan meminta itu ditunda, ini adalah merupakan suatu hal yang justru menyudutkan pemerintahan Prabowo. Karena sebenarnya yang menginginkan kenaikan itu adalah PDI Perjuangan," ujar Wihadi.

Oleh karena itu, dia membantah bahwa pemerintahan Prabowo lah yang memutuskan PPN naik menjadi 12 persen. Padahal kepala negara hanya sekedar menjalankan perintah perundang-undangan.

"Jadi apabila sekarang ada informasi ataupun hal-hal yang mengkaitan ini dengan pemerintah Pak Prabowo, yang seakan-akan memutuskan, itu adalah tidak benar," tegas Wihadi.

"Yang benar adalah UU ini adalah produk daripada DPR yang pada saat itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan, dan sekarang Presiden Prabowo hanya menjalankan," lanjutnya.

Sumber: era
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita