OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
PADA suatu kesempatan setelah keluar penjara beberapa tahun lalu, saya berkesempatan bertemu seseorang di lantai 9 sebuah gedung kawasan Monas.
Orang ini (bapak tua) pada tahun 1998 pernah ditendang Napoleon Bonaparte, di markas militer di Timor Timur. Saat itu, ceritanya, Napoleon yang berpangkat perwira muda, seorang letnan polisi, menjadi penjaga di markas itu.
Karena si bapak tua ini, mirip apek-apek China pedagang, menelepon seseorang sambil selonjoran di ruang teras markas. Napoleon berpikir ini China tua pedagang kurang sopan. Lalu, Napoleon menendang kakinya, menyuruh pergi dari situ, karena mengganggu pimpinan yang sedang rapat di dalam.
Sambil lugunya sang bapak tua mohon mohon maaf ke Napoleon dan bilang sebentar selesai. Setelah selesai bapak itu masuk ke dalam ruangan, bukannya meninggalkan gedung militer itu. Sehingga membuat Napoleon marah. Napoleon kemudahan berusaha mengejar ke dalam untuk mengusir. Karena sebagai perwira penjaga dia bertanggung jawab.
Anehnya, ketika Napoleon masuk, orang-orang di dalam semua tertawa terhadap Napoleon. Ternyata bapak tua mirip apek-apek China itu perwira tinggi militer berpangkat Kolonel. Dan Napoleon tersipu keluar ruangan.
Kembali ke cerita saya menemuinya di lantai 9, silaturahmi sambil menanyakan, "Kenapa Prabowo tidak mau menemui Habib Rizieq selama di Penjara?".
Lalu dia menjawab, "Habib Rizieq adalah musuh utama Jokowi". Selama Jokowi berkuasa tidak mungkin Prabowo bertemu HRS, katanya.
Cerita ini saya sengaja sampaikan ke publik untuk memberikan ingatan kepada rakyat tentang sejarah. Rakyat kita seringkali problem "short (term) memory". Sehingga dengan gampang mendegradasi ketokohan seseorang dalam konteks politik.
Khususnya, ketika Habib Rizieq memberikan dukungan politik kepada Ridwan Kamil, yang juga didukung Jokowi, muncul lecehan seolah-olah Habib Rizieq lupa Jokowi adalah musuhnya.
Saat ini terkait pilkada, ada upaya PDIP melakukan "politik siluman" bahwa mereka adalah musuh utama Jokowi. Sehingga semua kelompok pembenci Jokowi harus mendukung calon pilkada yang diusung PDIP.
Beberapa tokoh memberikan statement bahwa kaum musuh Jokowi tidak boleh memilih calon yang didukung Jokowi, termasuk RK di Jakarta. Ada pula upaya dramatisasi agar terlihat Hasto PDIP sebagai pahlawan dan dikatakan Hasto, Anies Baswedan dikriminalisasi Jokowi - otaknya Jokowi.
Dalam tulisan saya kemarin, "Ridwan Kamil dan Jakarta Gemilang", saya sudah ulas bahwa sejarah harus diluruskan. Pertama, sejarah Jokowi adalah sejarah PDIP Perjuangan. Bahkan, kalau Gibran adalah wakil capres Ganjar, sebagaimana mereka perjuangkan tempo hari, situasinya PDIP tetap benteng utama rezim Jokowi.
Bayangkan selama 10 tahun lebih Jokowi bersama PDIP sekarang rakyat harus dicuci otak seolah-olah PDIP adalah musuh Jokowi?
Jadi jika babak sejarah harus dituliskan, maka kita harus membuat periode 2005 (Walikota Oslo) sampai 2024 (sebelum final pasangan Prabowo Gibran di KPU) adalah periode Jokowi adalah petugas partai PDIP. Artinya mereka satu kesatuan.
Selanjutnya adalah babak di mana pilkada Jokowi tidak bersama PDIP, periode ini sejak pendaftaran cakada sd 20 Oktober 2024. Sedangkan saat ini adalah periode era Prabowo Subianto berkuasa, sejak 20 Oktober sampai 27/11.
Pada saat Prabowo (sedikit lagi) berkuasa, sudah jelas rencana Jokowi adalah menempatkan anaknya Kaesang sebagai Cagub Jateng atau Cawagub di Jakarta gagal. Entah bagaimana ceritanya mahasiswa di seluruh Indonesia turun ke jalan menolak keputusan MK soal umur Kaesang.
Dan entah bagaimana ceritanya Sufmi Dasco Ahmad, tangan kanan Prabowo Subianto berubah haluan menghadang Kaesang untuk lolos di DPR, rencana rekayasa perubahan UU Pemilukada, saat itu. Yang jelas, calon Jokowi satu-satunya yang lolos hanya menantunya yakni Bobby Nasution. Calon Jokowi hampir semuanya urusan keluarga saja.
Tentu saja Jokowi masih mempunyai pengaruh. Namun, membuat Jokowi seolah-olah monster penting di era sekarang adalah nonsense. Bahwa Jokowi ingin tetap tampil sebagai efek "power syndrome" sangat manusiawi. Akan tetapi, dalam babakan sejarah saat ini, Jokowi yang partainya, PSI, kecil, tidaklah mempunyai pengaruh penting, relatif terhadap kekuasaan Prabowo Subianto.
Berbagai manipulasi media dan survei yang mengatakan Jokowi masih dominan adalah propaganda. Dalam teori kepemimpinan, kebodohan kita adalah jika kita termakan oleh propaganda itu.
Jika tidak ingin termakan propaganda, maka saat ini, dalam babak baru, yang ada dalam pilkada hanyalah pilihan Prabowo Subianto, penguasa resmi, atau pilihan lainnya.
Dalam beberapa daerah pilihan lainnya tidak hanya PDIP, namun juga keberagaman yang tidak mungkin dibatasi. Misalnya, Jawa Timur dan Jawa Barat, ada calon yang didukung selain dukungan Prabowo dan PDIP.
Apakah Ridwan Kamil Pilihan Jokowi?
Pertanyaan ini penting untuk menjelaskan situasi sebenarnya. Jokowi pilihannya ketika babak berkuasa adalah anaknya Cawagub di Jakarta. Dia tidak punya kepentingan terhadap siapapun Cagubnya. Sebaliknya, RK, yang elektabilitasnya 60 persen di Jawa Barat, tidak memilih menjadi Cagub Jakarta.
Sayangnya, RK, yang kariernya di politik seperti Anies Baswedan, tidak memiliki partai, harus mengalah pada partai yang mau mengusung. Kebetulan Golkar merekrut RK di pengujung masa jabatannya Gubernur Jabar. Dan hasil kompromi politik Golkar dengan Gerindra, maka RK ditempatkan di Jakarta.
Dalam penempatan RK di Jakarta tidak ada peran Jokowi disana. Itu urusan Prabowo dan Golkar. Golkar mengalah di Jawa Barat, memberikan kesempatan kepada kader Gerindra menjadi Cagub bersama mereka.
Jadi, jika ada orang yang mengatakan RK ditempatkan di Jakarta karena Jokowi, itu tidak masuk akal sama sekali. Halusinasi.
Lalu, apakah Habib Rizieq atau ulama lainnya mendukung RK kemudian ketokohan Habib Rizieq tergerus?
Habib Rizieq Shihab sudah mengatakan bahwa urusan antara dia dan RK serta urusan dia dengan Jokowi dua hal terpisah. Dalam suratnya kepada penasihat FPI Buya Syekh Al Qurtubi Al Bantani tentang hal ini, 21/11, yang terlihat jelas Habib Rizieq terus akan menuntut Jokowi atas kejahatan dia selama ini.
Kita ketahui bahwa di pengadilan saat ini, Habib Rizieq melayangkan tuntutan ganti rugi atas kejahatan Jokowi terhadap demokrasi dan HAM, sebesar ganti rugi Rp5 ribu trilun, masih berlangsung.
Cara pandang Habib Rizieq tentu sangat dewasa dalam berpolitik. Begitu juga Profesor Din Syamsuddin yang mendukung RK.
Melalui WA-nya terhadap saya kemarin, dia menyetujui cara berpolitik yang tidak kekanak-kanakan. Artinya, mendukung RK bukan urusan posisi politik kita terhadap Jokowi, ini suatu yang bisa dipisahkan.
Penutup
Sepanjang sejarah pemerintahan Jokowi, baik di Jakarta, maupun nasional, musuh utama Jokowi adalah Habib Rizieq. Saya yang sepuluh tahun melawan Jokowi dan di penjara di era itu (2020), dan hampir di penjara, 2016, bersama Rachmawati Soekarnoputri, tetap mengakui keutamaan dan keulamaan Habib Rizieq. Habib Rizieq adalah sinar pelita bangsa selama era Jokowi itu.
Persoalannya babak baru sekarang, di era Prabowo, akan ada oposisi-oposisi besar yang akan muncul, itu keniscayaan sejarah. Persoalannya adalah kita tidak bisa meletakkan urusan pilkada Jakarta dengan membuat kebencian terhadap Jokowi menjadi kebencian terhadap Ridwan Kamil.
Karena Ridwan Kamil adalah pilihan Prabowo dan Golkar. Bahwa Jokowi mendukung Ridwan Kamil dan Habib Rizieq Shihab mendukung Ridwan Kamil itu hanya irisan saja.
Jika kelompok tertentu adalah oposisi sejati dan mau menghadang Ridwan Kamil di Jakarta jangan bersembunyi di isu Jokowi. Jangan bilang karena benci Jokowi. Kalian harus mengatakan tidak mendukung RK karena kalian oposisi Prabowo. Itulah sejatinya berdemokrasi.
(Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle)