GELORA.CO - Nasib malang benar-benar dialami Situmorang, pria berusia 60 tahun asal Sumatera Utara. Harapannya untuk mencari solusi atas masalah sewa lahan di kampung halamannya melalui layanan aduan “Lapor Mas Wapres” berujung kekecewaan. Setelah menempuh perjalanan jauh ke Jakarta, ia justru dihadapkan pada birokrasi yang berbelit dan janji yang terus berubah.
Berangkat pada 11 November 2024, Situmorang menjadi salah satu pelapor pertama di layanan yang baru dibuka Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Namun, setelah melaporkan masalahnya, ia diminta datang lagi 10 hari kerja kemudian. Rabu, 20 November, ia kembali ke Istana Wapres, hanya untuk diberitahu bahwa laporannya masih harus menunggu.
“Sampai sekarang WA mereka nggak dibuka-buka. Saya cuma mau tahu kelanjutannya,” ujar Situmorang dengan wajah kecewa, amplop berisi dokumen laporan masih erat di genggamannya.
Harapan Tinggi, Biaya Tinggi
Demi menunggu kejelasan laporan, Situmorang memilih tinggal di Jakarta. Ia menyewa hotel murah di kawasan Jakarta Selatan seharga Rp250 ribu per malam. Namun, tinggal selama 18 hari hingga 29 November memaksanya mengeluarkan biaya sekitar Rp4,7 juta, belum termasuk kebutuhan makan sehari-hari.
“Di sini saya cuma bertemu teman lama sambil menunggu jadwal ulang ke Istana Wapres,” katanya saat ditemui Inilah.com.
Tidak hanya Situmorang, cerita serupa datang dari Usman, warga asal Pekanbaru, Riau. Dengan harapan besar, ia datang ke Jakarta untuk melaporkan kasus penyerobotan lahannya oleh pemerintah daerah. Namun, setibanya di Istana Wapres, ia diminta untuk mendaftar secara online terlebih dahulu.
“Kalau dari awal tahu harus daftar online, saya gak mungkin buang ongkos ke Jakarta. Informasi seperti ini harusnya jelas,” keluh Usman. Setelah negosiasi panjang, ia mendapat jadwal pendaftaran pada 2 Desember.
Namun, itu belum akhir cerita. Setelah pendaftaran, ia masih harus menunggu 14 hari kerja untuk laporannya diproses. Jika kembali ke Pekanbaru, ia khawatir perubahan jadwal tiba-tiba memaksanya bolak-balik ke Jakarta.
Birokrasi Berliku
Program “Lapor Mas Wapres” memang menarik perhatian masyarakat luas, terutama mereka yang berasal dari daerah-daerah yang selama ini sulit mendapat akses ke pemerintah pusat. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, mengklaim bahwa program ini telah menerima 400 laporan sejak dibuka. Dari jumlah itu, 75 laporan sudah diselesaikan.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua pelapor mendapat pelayanan yang cepat dan memuaskan. Birokrasi yang rumit dan kurangnya informasi menjadi kendala utama. Setiap pelapor diwajibkan membawa dokumen pendukung yang lengkap. Jika tidak lengkap, mereka diminta mengirimkan dokumen tambahan melalui email dalam waktu 10 hari.
Selain itu, Istana Wapres hanya melayani maksimal 50 aduan per hari. Aturan ini membuat pelapor yang datang jauh dari luar Jakarta sering kali tidak kebagian kuota dan harus menunggu lebih lama.
Situmorang dan Usman adalah gambaran dari banyak warga daerah yang menaruh harapan besar pada layanan ini. Mereka datang dengan keinginan sederhana: mendapatkan perhatian langsung dari pemerintah pusat. Namun, mereka justru dihadapkan pada kenyataan bahwa birokrasi di pusat tidak jauh berbeda dengan yang mereka alami di daerah.
“Kalau laporannya gak diproses, ya sama saja. Pemerintah pusat dan daerah cuma beda tempat,” ujar Usman dengan nada pasrah ketika ditemui Inilah.com.
Layanan “Lapor Mas Wapres” seharusnya menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah, terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari ibu kota. Namun, dengan alur proses yang berbelit dan minimnya kejelasan informasi, program ini justru berisiko menambah beban warga.
Evaluasi Mendesak
Kisah Situmorang dan Usman menjadi pengingat bahwa niat baik saja tidak cukup. Program seperti “Lapor Mas Wapres” perlu dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, terutama mereka yang berasal dari daerah terpencil. Proses yang sederhana, transparan, dan efisien adalah kunci untuk memastikan layanan ini benar-benar bermanfaat.
Sementara itu, bagi warga seperti Situmorang dan Usman, perjalanan panjang mereka ke Jakarta adalah bentuk perjuangan mencari keadilan. Meski kecewa, mereka masih menyimpan harapan bahwa laporan mereka akan didengar dan ditindaklanjuti.
“Kalau nanti gak ada perubahan, ya kita gak tahu lagi harus ke mana,” ujar Situmorang, menutup kisahnya dengan nada penuh keraguan.
Program ini masih memiliki peluang untuk diperbaiki. Namun, jika tidak segera dievaluasi, “Lapor Mas Wapres” hanya akan menjadi beban baru bagi masyarakat yang sudah terpinggirkan.
Sumber: inilah