Bantah Bebaskan Terpidana Mati Mary Jane, Menko Yusril: Pemerintah Indonesia Mengembalikan

Bantah Bebaskan Terpidana Mati Mary Jane, Menko Yusril: Pemerintah Indonesia Mengembalikan

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pemerintah Indonesia membantah membebaskan terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Veloso. Menteri Koordinator (Menko) Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan hal tersebut menanggapi pemberitaan yang beredar tentang pernyataan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr yang menyatakan terpidana mati kasus narkotika itu dibebaskan dan dipulangkan ke Manila.

“Pemerintah Indonesia tidak membebaskan terpidana mati Mary Janes,” begitu kata Yusril dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Rabu (20/11/2024).

Akan tetapi, Yusril menerangkan, Pemerintah Indonesia memang mengembalikan Mary Jane ke Filipina dalam statusnya masih sebagai terpidana mati. “Pemerintah Indonesia mengembalikan terpidana mati Mary Jane ke negara asalnya (Filipina) melalui kebijakan pemindahan narapidana atau transfer of prisoner,” sambung Yusril.

Yusril menjelaskan, Indonesia memang sebelumnya telah menerima permohonan resmi dari Filipina perihal pemindahan Mary Jane. Dan Indonesia, kata Yusril, menyetujui pemindahan tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan Indonesia kepada Filipina.

Atas pemindahan tersebut, reaksi pemerintahan di Manila positif merespons kebijakan di Jakarta. Hal tersebut yang diutarakan langsung oleh Presiden Marcos melalui akun media sosial (medsos) resmi. Akan tetapi, kata Yusril, terjadi salah makna atas penyampaian terbuka Presiden Filipina itu di Indonesia.

“Tidak ada kata ‘bebas’ dalam statemen Presiden Marcos. (Presiden Marcos) menyampaikan ‘bring her back to the Philippines’. Yang itu artinya membawa dia (Mary Jane) kembali ke Filipina,” kata Yusril.

Kata dia, pemulangan Mary Jane oleh Indonesia, bukan berarti membebaskannya dari status terpidana.

Karena kata Yusril menegaskan, status tetap sebagai terpidana mati terhadap Mary Jane itu merupakan salah satu syarat yang diajukan Indonesia atas permohonan dari Filipina. Karena itu, Yusril menerangkan, dalam persoalan Mary Jane ini, yang dilakukan adalah transfer of prisoner.

“Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh negara yang mengajukan permohonan pemindahan narapidana atau transfer of prisoner. Pertama itu, negara pemohon harus mengakui dan menghormati putusan final pengadilan Indonesia dalam menghukum warga negaranya yang terbukti melakukan tindak pidana di wilayah hukum negara Indonesia,” terang Yusril.

Kasus Mary Jane terkait narkotika yang sudah lama inkrah menjadikannya sebagai terpidana hukuman mati. Walaupun eksekusi mati terhadap Mary Jane itu hingga kini belum terlaksana.

Syarat kedua, kata Yusril, dalam pemindahan narapidana ke negara asalnya itu harus dengan melanjutkan sisa pemidanaan yang sesuai dengan putusan hukum negara penghukumnya. Meskipun, kata Yusril, negara asal terpidana tersebut bisa saja selanjutnya memberikan pengampunan.

“Bahwa setelah kembali ke negara asalnya dan menjalani sisa hukuman di negara asalnya, kewenangan pembinaan terhadap narapidana tersebut beralih menjadi kewenangan negara tersebut,” ujar Ysuril.

Dalam pemindahan terpidana mati Mary Jane ini, selanjutnya bisa saja otoritas di Filipina akan memberikan pengampunan, melalui pemberian grasi, ataupun yang lainnya. “Dalam kasus Mary Jane yang sudah dijatuhi hukuman mati di Indonesia, setelah transfer of prisoner ini, mungkin saja Presiden 

Ferdinand Marcos akan memberikan grasi, dan mengubah hukuman mati menjadi seumur hidup. Mengingat hukuman pidana mati telah dihapuskan dalam hukum pidana di Filipina. Maka langkah tersebut menjadi kewenangan sepenuhnya dari pemerintah Filipina,” ujar Yusril.

Mary Jane Veloso, pada April 2010 lalu, ditangkap di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Perempuan itu kedapatan membawa narkotika jenis heroin sebesar 2,6 kg yang dijahit di dalam koper bawaannya. Setelah diajukan ke persidangan ia dijatuhi pidana mati.

Menunggu eksekusi, Mary Jane ditempatkan di LP Wirogunan, Yogyakarta. Pada 2014, Mary Jane sempat mengajukan permohonan grasi ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Akan tetapi presiden menolak. Pada 2015, Mary Jane rencananya akan dieksekusi bersama 11 terpidana mati kasus lainnya di Nusakambangan.

Akan tetapi, beberapa hari sebelum dilakukan eksekusi, tim pendamping hukum Mary Jane mengajukan Peninjaun Kembali (PK) atas kasusnya. Eksekusi terhadap Mary Jane tersebut batal dilakukan. Namun pemenjaraan terhadapnya tetap dilakukan di LP Wirogunan di Yogyakarta.

Terungkap kasus narkotika yang mengancam nyawa Mary Jane merupakan aksi kejahatan internasional. Mary Jane, dalam kasusnya adalah korban dari kartel narkotika internasional melalui penyaluran tenaga kerja ke Malaysia dan Indonesia.

Sumber: republika
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita