OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI
PASAL 71 dalam UU 10/2016 tentang perubahan kedua atas UU 1/2015 tentang penetapan Perpu 1/2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU, menyatakan bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI Polri, dan Kades, atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan, atau merugikan salah satu pasangan calon (ayat 1).
Gubernur atau Wagub, Bupati atau Wabup, dan Walikota atau Wawali dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri (ayat 2).
Gubernur atau Wagub, Bupati atau Wabup, dan Walikota atau Wawali dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih (ayat 3). Ketentuan tersebut berlaku juga untuk penjabat Gubernur, atau Bupati/Walikota (ayat 4).
Ketentuan Pasal 71 tersebut di atas dikenal sebagai aspek netralitas dalam Pilkada. Netralitas yang juga dipersyaratkan dalam UU Pilpres dan Pileg. Pelanggaran terhadap ketentuan pada Pasal 71 diyakini sebagai kegiatan yang dapat mengancam kematian demokrasi oleh Ketum Parpol terbesar pemenang pemilu 2024.
Aspek kematian yang mengancam demokrasi dinilai sebagai alibi (baca: sebagai kambing hitam) untuk menjelaskan tentang mengapa terdapat fenomena (baca: anomali) dari para calon dalam Pilkada 2024, yang kemudian kalah dalam kompetisi. Kalah, karena kinerja dari Partai Coklat.
Nama Partai Coklat dipopulerkan oleh anggota DPR Fraksi Partai Nasdem bernama Yoyok Riyo Sudibyo dan hal itu juga diulang oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, dimana Partai Coklat sebagai nama sebutan untuk partai yang bukan peserta Pilkada, melainkan sebagai sebutan untuk partai yang membuat keputusan dan/atau tindakan yang diyakini telah menguntungkan, atau merugikan salah satu pasangan calon. Demikian pula oleh tindakan berdasarkan ayat (2) hingga ayat (4) dari Pasal 71 tersebut di atas.
Untuk membuktikan telah terjadi insiden ketidaknetralitasan dalam Pilkada, maka KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota musti telah menetapkan sanksi pembatalan sebagai calon dari petahana (Pasal 71 ayat 5). Sanksi untuk bukan petahana juga ditetapkan dalam bentuk pembatalan sebagai calon berdasarkan Pasal 71 ayat 6.
Persoalannya adalah dalam praktek di dunia nyata ternyata sama sekali tidak ada insiden keputusan pembatalan untuk petahana, atau bukan petahana sebagai calon berdasarkan keputusan penetapan oleh KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota sebagaimana pemberian sanksi berdasarkan UU 10/2016 tentang Pilkada pada Pasal 71 ayat (5) atau ayat (6). Implikasinya adalah sungguh sulit untuk membenarkan dalam membuktikan pernyataan bahwa demokrasi terancam mati.
Pasal 73 ayat (1) menyatakan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Pasal 71 ayat (1) sering dikaitkan dengan program bansos, yang sekalipun kegiatan bansos merupakan amanat dari UU APBN untuk dilaksanakan. Pemerintah pun diprogramkan untuk melaksanakan pembagian bansos.
Akan tetapi, bansos yang diyakini sebagai salah satu modifikasi dari kegiatan money politics, atau menggunakan istilah sebagai praktek manipulasi terhadap politik gentong babi oleh orang-orang yang kalah dalam Pilpres, Pileg, atau Pilkada. Hal itu sebagai kritik untuk kegiatan pelanggaran dalam etika dan penyalahgunaan moralitas dalam pemilu dan pilkada.
Kritik dari mereka yang tidak pernah ikut sebagai calon untuk kegiatan Pilpres, Pileg, dan Pilkada, atau dari mereka yang kalah dalam kontestasi tersebut. Kritik sebagai keberatan dari orang-orang yang kalah, atau pun dari penggemar atas orang-orang yang kalah dalam momentum kontestasi demokrasi.
Pada Pilpres dan Pileg 2024, aspek pelanggaran dalam netralitas aparat juga telah diuji dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Juga aspek pemberian bansos. Akan tetapi kedua alibi tersebut ditolak, atau gagal terbukti sebagai bentuk kegiatan pelanggaran berdasarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat pada hasil persidangan gugatan sengketa Pilpres di MK.
Oleh karena itu parpol yang menyatakan bahwa demokrasi terancam mati diharapkan mampu bukan hanya menunjukkan adanya keberadaan bukti dan saksi-saksi tentang putusan KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota yang membatalkan calon, namun juga diharapkan mampu memberikan bukti-bukti konkret dalam persidangan MK. Persidangan yang membuktikan terjadinya ketidaknetralan aparat dan pemberian bansos. Bansos yang menjadi amanat dari UU APBN.
Persoalannya adalah tim hukum dari parpol yang menyatakan bahwa demokrasi terancam mati, itu gagal mempunyai tim hukum yang kuat untuk berhasil menang dalam rapat penetapan pembatalan calon oleh KPU, maupun menang dalam persidangan sengketa Pilkada di MK nantinya.
Kegagalan dari tim hukum parpol pada masa yang lalu, terkesan senantiasa menjadi pembenaran bahwa berbagai alibi yang diajukan dalam persidangan ternyata gagal dalam mempertahankan pembuktian-pembuktian dan saksi-saksi sebagai pihak yang kalah dalam bersengketa.
Satu hal lagi yang penting dijumpai pada UU 10/2016 pada Pasal 109 ayat (3) adalah dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon Gubernur dan calon Wagub peserta pemilihan memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah, ditetapkan sebagai pasangan calon Gubernur dan calon wagub terpilih.
Ketentuan Pasal 109 ayat (3) ini tidak memberikan ketentuan penataan Pilkada hanya satu putaran, maupun hingga dua putaran sebagaimana ketentuan dalam UU Pilpres.
Implikasinya adalah penentuan kemenangan pasangan calon ditentukan pada waktu perhitungan riil akhir suara sah oleh KPU dan Pilkada UU 10/2016 tidak mengatur mengenai Pilkada dua putaran.
(Penulis tergabung sebagai Associate Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana)