Adili Oknum TNI Penyerang Warga di Deli Serdang dan Segera Revisi UU Peradilan Militer

Adili Oknum TNI Penyerang Warga di Deli Serdang dan Segera Revisi UU Peradilan Militer

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mendesak agar puluhan oknum TNI yang terlibat dalam penyerangan terhadap masyarakat sipil di Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (8/11/2024) segera diadili.

"Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras penyerangan secara membabi buta tersebut, dan mendesak agar para pelaku penyerangan segera diadili," tegas Ardi dalam keterangan resmi yang diterima inilah.com di Jakarta, Senin (11/11/2024).

Penyerangan tersebut ditengarai disebabkan oleh adanya perselisihan antara salah seorang warga dengan anggota TNI pada siang hari di jalan. Puluhan oknum anggota TNI kemudian merespons perselisihan tersebut dengan menyerang secara brutal terhadap warga.

"Kami menilai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI tersebut tidak dapat dibenarkan dengan dalih apapun. Koalisi menilai, penyerangan terhadap warga yang dilakukan oleh anggota TNI di Kabupaten Deli Serdang itu menunjukan kecenderungan masih kuatnya arogansi dan kesewenang-wenangan hukum (above the law) anggota TNI terhadap warga sipil," tuturnya.

Para oknum anggota TNI yang diduga menyerangan brutal tersebut, kata dia, tidak boleh dibiarkan tanpa proses hukum dan harus dihukum sesuai dengan perbuatannya.

Berdasarkan catatan Imparsial, sepanjang Januari-November 2024 telah terdapat 25 peristiwa kekerasan oleh oknum anggota TNI terhadap warga sipil. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut antara lain, penganiayaan atau penyiksaan terhadap warga sipil, kekerasan terhadap pembela HAM dan jurnalis, intimidasi dan perusakan properti, penembakan, dan KDRT.

Motif dari tindakan kekerasan yang dilakukan oknum anggota TNI ini juga beragam, mulai dari motif persoalan pribadi, bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, terlibat dalam sengketa lahan dengan masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta pembatasan terhadap kerja-kerja jurnalis dan pembela HAM. Umumnya, pelaku kekerasan tersebut juga tidak mendapatkan hukuman atau sanksi sebagaimana mestinya (impunitas).

"Koalisi menilai, langgengnya budaya kekerasan aparat TNI terhadap warga sipil di sejumlah daerah salah satunya disebabkan oleh belum direvisinya UU tentang Peradilan Militer (UU Nomor 31 Tahun 1997). Sistem Peradilan Militer yang berjalan selama ini tidak urung menjadi sarana impunitas bagi aparat TNI yang melakukan kekerasan," kata Ardi.

Menurutnya, reformasi peradilan militer sesungguhnya adalah mandat dari UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pada Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan 'prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan UU'.

Selain itu, upaya mewujudkan reformasi peradilan militer merupakan sebuah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen. Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak perevisian terhadap UU Peradilan Militer.

"Pemerintah dan DPR RI (harus) segera untuk memasukkan agenda revisi UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer ke dalam Prolegnas 2024-2029, untuk segera dibahas oleh DPR RI bersama dengan pemerintah dalam periode legislasi berikutnya," ujar Ardi, menekankan.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty Internasional Indonesia, ELSAM, HRWG, WALHI, SETARA Institute, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Aliansi Masyrakat Adat Nusantara (AMAN), Public Virtue, dan ICJR.

Sumber: inilah
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita