GELORA.CO - Wali kota salah satu kota terbesar di Lebanon selatan tewas dalam serangan udara Israel yang menghantam markas pemerintah kota Nabatieh pada Rabu (16/10/2024).
Serangan tersebut, yang merupakan bagian dari rangkaian serangan Israel di Nabatieh, menewaskan 16 orang dan melukai 52 lainnya, menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Lebanon. Pada saat itu, wali kota dan anggota komite krisis provinsi sedang mengadakan rapat koordinasi bantuan bagi warga dan pengungsi yang terkena dampak perang.
Howaida Turk, Gubernur Provinsi Nabatieh, menyatakan bahwa serangan ini adalah serangan paling signifikan yang dilakukan Israel terhadap lembaga negara Lebanon sejak pecahnya pertempuran antara Israel dan kelompok milisi Syiah Lebanon, Hizbullah, setahun yang lalu. Proses penyelamatan korban yang terjebak di bawah reruntuhan berlangsung hingga sore hari.
Selain itu, pusat pertahanan sipil pemerintah di Nabatieh juga menjadi target serangan udara Israel, menewaskan Naji Fahs, seorang petugas tanggap darurat yang telah bertugas sejak 2002. Pada sore harinya, Palang Merah Lebanon melaporkan bahwa dua paramedis mereka mengalami luka ringan setelah Israel menyerang lokasi di Joya, Lebanon selatan, saat para petugas sedang berusaha menyelamatkan korban dari serangan sebelumnya.
Perdana Menteri sementara Lebanon Najib Mikati mengecam serangan tersebut dan menyatakan bahwa Israel secara sengaja menargetkan pegawai pemerintah kota yang sedang membahas upaya bantuan kemanusiaan.
"Serangan ini menunjukkan betapa Israel dengan sengaja menyerang warga sipil dan petugas kemanusiaan yang bekerja untuk membantu masyarakat di masa krisis ini," kata Mikati dalam sebuah pernyataan resmi, dilansir The Guardian.
Mikati juga mengkritik Israel karena terus menyerang posisi Pasukan Penjaga Perdamaian PBB (UNIFIL) di Lebanon selatan.
Pada Rabu malam, pasukan perdamaian PBB kembali menuduh pasukan Israel melakukan serangan langsung terhadap posisi mereka di desa Kfar Kila. Menurut UNIFIL, sebuah tank Israel menembakkan peluru ke arah menara pengawas mereka, yang dianggap sebagai serangan yang disengaja.
Tindakan Israel ini telah mendapat kritik internasional karena beberapa posisi UNIFIL telah menjadi target serangan, menyebabkan luka pada sedikitnya lima anggota pasukan perdamaian tersebut.
Jeanine Hennis-Plasschaert, Koordinator Khusus PBB untuk Lebanon, menyatakan bahwa penderitaan di Lebanon telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mendesak agar warga sipil dilindungi dari dampak perang.
Pada hari yang sama, Israel mengeklaim telah menyerang puluhan target Hizbullah di wilayah Nabatieh dan menyatakan bahwa angkatan lautnya juga menghantam peluncur roket, posisi militer, dan gudang senjata milik Hizbullah di Lebanon barat daya.
Sebelumnya, pada tanggal 3 Oktober, Israel telah memerintahkan penduduk Nabatieh untuk meninggalkan kota tersebut dengan alasan bahwa mereka akan segera menyerang instalasi Hizbullah di sana. Namun, beberapa penduduk dan pengungsi masih bertahan di wilayah tersebut.
Serangan udara di Nabatieh makin intens selama sepekan terakhir, dengan wilayah luas kota tersebut hancur oleh pengeboman. Pasar bersejarah era Ottoman yang berdiri sejak tahun 1910 turut hancur dalam serangan pada Minggu lalu.
"Ini adalah kehancuran besar. Senjata yang digunakan sangat merusak, tidak hanya merusak area target tetapi juga sekitarnya," ungkap Gubernur Turk.
Selain Nabatieh, Israel juga melancarkan serangan di wilayah Dahiyeh, di pinggiran selatan Beirut, setelah beberapa hari ketenangan di sekitar ibu kota Lebanon tersebut. Serangan terakhir di Beirut terjadi pada Kamis minggu lalu, yang menghancurkan satu blok apartemen dan menewaskan 22 orang, menjadikannya serangan paling mematikan di Beirut sejak 2006.
Sementara itu, Kantor Hak Asasi Manusia PBB pada Rabu menyerukan penyelidikan atas serangan udara Israel yang menewaskan 24 orang di desa mayoritas Kristen, Aitou, di Lebanon utara pada Senin. Serangan tersebut menghantam blok apartemen yang disewa oleh keluarga-keluarga yang mengungsi dari pertempuran di Lebanon selatan.
Semua korban yang tewas adalah pengungsi yang melarikan diri dari konflik di selatan.
Perwakilan PBB, Jeremy Laurence, menyatakan kekhawatiran yang mendalam terkait hukum kemanusiaan internasional dalam serangan tersebut.
Sumber: cnbcindonesia