Hakim PN Jaktim Dilaporkan ke KY

Hakim PN Jaktim Dilaporkan ke KY

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Advokat Fredrich Yunadi bersama tujuh advokat resmi mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Komisi Yudisial (KY) terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Laporan ini juga ditujukan kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung RI dan Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta

Tim hukum menyoroti dugaan pelanggaran Ketua Majelis Hakim PN Jaktim beserta anggota majelis serta Panitera Pengganti.

Fredrich mewakili pemegang saham dari PT Waskita Beton Precast Tbk (WBPP) dalam sengketa dengan Bank DKI.

Sengketa tersebut terkait kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang telah diselesaikan melalui perdamaian, sebagaimana diatur dalam Akta Perdamaian No. 67.

"Sengketa ini melibatkan Waskita Beton Precast yang telah diajukan ke Pengadilan Niaga dalam proses PKPU dan diputus melalui perdamaian," kata Fredrich dalam keterangannya, Jumat, 18 Oktober 2024.

Majelis hakim PN Jaktim diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang diatur dalam keputusan bersama No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan No. 02/SKB/P.KY/IV/2009. Beberapa pasal yang diduga dilanggar antara lain Pasal 1.5, 1.7, 1.9, dan Pasal 10.4.

"Pengadilan negeri tidak memiliki wewenang untuk membatalkan keputusan pengadilan niaga. Ini sesuatu yang sangat tidak dibenarkan," tambahnya.

Fredrich juga mencurigai adanya keterlibatan pihak lain dalam kasus ini, yang menurutnya merupakan tugas Komisi Yudisial untuk menyelidiki.

Kerugian materiil dan imateriil kasus ini berdampak pada kerugian besar bagi klien mereka.

Fredrich mengungkapkan bahwa kliennya, yang merupakan kreditor konkuren dalam kasus PKPU, mengalami kerugian materiil sebesar Rp24,02 miliar dan kerugian inmateriil sebesar Rp18,17 miliar.

Klien lainnya menderita kerugian sebesar Rp20 miliar dalam bentuk materiil dan Rp17,1 miliar dalam bentuk kerugian inmateriil.

Selain itu, PT Waskita Beton Precast Tbk juga mengalami penurunan nilai pasar yang signifikan, dengan potensi kerugian negara hingga Rp1,5 triliun.

"Kami sudah melaporkan hal ini ke berbagai instansi terkait, termasuk BPK, KPK, dan DPR. Kami berharap kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan adil," tutup Fredrich.

Sumber: rmol
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita