GELORA.CO - AS dan negara-negara besar dunia lainnya telah mendorong gencatan senjata selama 21 hari antara Israel dan Hizbullah. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membantah godokan proposal dari negara-negara tersebut dengan mengatakan operasi militer akan terus berlanjut dengan kekuatan penuh di Lebanon.
Sebuah pernyataan dari kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan laporan tentang gencatan senjata itu "tidak benar", dan secara terbuka menepis tekanan AS.
"Ini adalah usulan Amerika-Prancis yang bahkan belum ditanggapi oleh Perdana Menteri. Laporan tentang arahan yang dimaksudkan untuk meredakan pertempuran di utara adalah kebalikan dari kebenaran. Perdana Menteri telah memerintahkan IDF untuk terus bertempur dengan kekuatan penuh, sesuai dengan rencana yang disampaikan kepadanya," kata kantor Netanyahu, dikutip dari Iran International, Jumat, 27 September 2024.
Ia mengatakan pertempuran di Gaza juga akan terus berlanjut hingga semua tujuan perang tercapai, yaitu pembubaran milisi Hamas yang didukung Iran, dan pengembalian 101 sandera yang masih ditawan.
Pada Rabu malam, 25 September 2024, Amerika Serikat, Prancis, dan sekutu lainnya merilis pernyataan bersama yang menyerukan gencatan senjata segera selama 21 hari di perbatasan Israel-Lebanon. Mereka juga sekaligus menyatakan dukungan untuk gencatan senjata di Gaza.
"Situasi antara Lebanon dan Israel sejak 8 Oktober 2023 tidak dapat ditoleransi dan menimbulkan risiko eskalasi regional yang lebih luas yang tidak dapat diterima," kata pernyataan bersama tersebut.
Tidak hanya Netanyahu, Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, juga membantah klaim gencatan senjata tersebut.
"Tidak akan ada gencatan senjata di wilayah utara. Kami akan terus berjuang melawan organisasi teroris Hizbullah dengan sekuat tenaga hingga kemenangan dan warga di wilayah utara dapat kembali ke rumah mereka dengan selamat karena 63.000 warga Israel masih mengungsi."
Pada hari Rabu, kepala staf Israel mengerahkan dua unit cadangan lagi, yang diyakini berjumlah 4.000 tentara, yang membicarakan kemungkinan invasi darat.
"Anda mendengar jet tempur di atas kepala; kami telah menyerang sepanjang hari. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan jalan bagi kemungkinan masuknya militer (ke Lebanon) dan untuk terus melemahkan Hizbollah," ucap Jenderal Herzi Halevi kepada pasukannya.
"Artinya adalah bahwa sepatu bot militer Anda, sepatu bot manuver Anda, akan memasuki wilayah musuh. Masuknya Anda ke sana dengan kekuatan akan menunjukkan pada (Hizbullah) bagaimana rasanya bertemu dengan pasukan tempur profesional."
Penolakan publik dari Israel pun muncul setelah tahun yang menegangkan dengan AS yang terus-menerus mendorong negara Yahudi itu menuju gencatan senjata dengan Hamas di Gaza dan mengancam akan menahan penjualan senjata.
Hal itu juga membuat hubungan antara sahabat lama Netanyahu dan Presiden AS Joe Biden yang akan lengser semakin tegang karena keduanya bertengkar mengenai tujuan perang sejak 7 Oktober, ketika Hamas menewaskan 1.100 warga sipil dan menyandera lebih dari 250 orang di Israel.
Proksi Iran yang paling kuat, Hizbullah, memulai pemboman hampir setiap hari terhadap Israel yang berpihak pada Hamas dan sejak itu telah mengirim lebih dari 8.000 proyektil ke utara Israel. Akibatnya, puluhan ribu orang mengungsi.
Serangan balasan telah menyebabkan lebih dari 100.000 orang mengungsi di Lebanon selatan dan sejak minggu lalu, sebanyak 100.000 orang lainnya telah melarikan diri saat Israel meningkatkan serangan militernya terhadap Hizbullah.
Sumber: viva