Tiga Paslon Pilgub Jatim Gandeng Unsur NU, Pengamat: Suara Khofifah-Emil Berpotensi Terganggu

Tiga Paslon Pilgub Jatim Gandeng Unsur NU, Pengamat: Suara Khofifah-Emil Berpotensi Terganggu

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Ketiga pasangan calon Gubernur Jawa Timur kompak menggandeng unsur Nahdlatul Ulama atau NU dalam Pilkada 2024. Pengamat politik Islam, Ahalla Tsauro menilai bahwa suara nahdiyin dalam kontestasi Pilgub Jatim memang signifikan dan jadi faktor utama penentu kemenangan.

Seperti diketahui, ada tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur yang berlaga di Pilkada Jawa Timur. Mereka adalah pasangan Khofifah-Emil Dardak, Risma-Gus Hans, dan Luluk-Lukman.

“Tidak heran jika unsur NU terdapat dalam tiga paslon Pilgub Jatim 2024. Seperti Khofifah, Gus Hans, Luluk dan Lukman,” kata Ahalla kepada Tempo, Ahad, 1 September 2024.

Menurut dia, suara masif nahdiyin tidak bisa lepas dari faktor sosiologis-historis NU yang lahir dan tumbuh besar di Jawa Timur. Diikuti dengan ribuan jumlah pesantren atau institusi keagamaan yang berdiri dan terafiliasi dengan NU. 

Ahalla mengatakan bahwa Khofifah Indar Parawansa - Emil Dardak masih difavoritkan untuk merebut suara nahdiyin meski paslon ini tidak didukung oleh partai berbasis NU, yakni PKB. Sebab, Khofifah masih menjabat sebagai Ketua Muslimat NU dan memiliki kedekatan dengan pemerintah pusat.

“Peran Khofifah saat memenangkan Prabowo-Gibran dalam pilpres bisa menjadi faktor signifikan. Bisa jadi, Khofifah dengan mudah akan mendapat dukungan dari pusat,” ucap akademisi dari Konsorsium Peneliti dan Pemberdayaan untuk Kesejahteraan (KIPRAH) itu.

Kendati demikian, suara NU pada Khofifah-Emil berpotensi terganggu dengan hadirnya Gus Hans sebagai cawagub Tri Rismaharini dan pasangan Luluk Nur Hamidah - Lukmanul Khakim. Meski tidak didukung koalisi gemuk seperti Khofifah-Emil, Risma-Gus Hans yang didukung PDIP dan Luluk-Lukman dengan dukungan PKB bisa mengeksploitasi suara nahdiyin di akar rumput. 

“Ingat, hasil Pileg 2024 menunjukkan PKB dan PDIP mendominasi suara di Jatim,” papar alumnus National University of Singapore (NUS) itu.

Selain itu, Ahalla menilai bahwa polemik PKB-PBNU bisa mengganggu dominasi Khofifah-Emil. Sebab, nahdiyin Jawa Timur tampak kecewa atas pencopotan KH Marzuki Mustamar sebagai ketua PWNU Jatim di masa kampanye Pilpres lalu. “Kekecewaan ini tentu tidak bisa dilupakan oleh para nahdiyin,” kata pria asal Tuban, Jawa Timur itu.

Menurut Ahalla, Khofifah-Emil masih memegang elektabilitas tertinggi pada survei. Namun, jika narasi kekecewaan atas PBNU dimainkan dalam masa kampanye, maka elektabilitas Khofifah-Emil berpotensi turun. 

“Sehingga, Risma-Gus Hans dan Luluk-Lukman bisa memanfaatkan narasi ini di samping melakukan kampanye ke tempat-tempat strategis untuk mendulang suara NU di akar rumput,” ucap Ahalla.

Pada sisi lain, narasi kekecewaan ini bisa jadi ditampung oleh Risma dengan memainkan sosok cawagubnya, Gus Hans untuk menarik simpatisan di akar rumput. Terlebih, Gus Hans pernah menjadi jubir Khofifah-Emil dalam Pilgub 2019 yang bisa mengantisipasi strategi kampaye nanti. 

“Sementara itu, nama besar Risma bisa menjadi faktor lain yang menarik suara NU karena karir politiknya selama ini,” jelas pria yang pernah menempuh S1 Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) itu.

Ahalla menyimpulkan, jika dua paslon lain ingin melawan Khofifah-Emil, maka keduanya harus bekerja sama di balik layar, alih-alih berkompetisi. Tujuannya, menggoyang petahana lewat narasi-narasi, salah satunya mengenai NU. 

Jika tidak, Risma-Gus Hans dan Luluk-Lukman hanya memberikan gangguan minim yang tidak berdampak. “Yang jelas, keduanya akan kesulitan membendung Khofifah-Emil karena belum pernah ikut Pilgub Jatim. Kita lihat saja nanti perkembangannya selama kampanye resmi dimulai,” ujar Ahalla.

Sumber: tempo
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita