GELORA.CO - Seorang santri di salah satu pondok pesantren, di Sukoharjo yang berinisial AK (13) meninggal dunia. Siswa SMP kelas VIII itu meninggal karena diduga menjadi korban bullying atau perundungan kakak kelasnnya.
Pantauan VIVA, sejumlah karangan bunga terlihat berjajar di dekat mulut gang menuju rumah duka yang beralamat di RT 1 RW 14, Pucangsawit, Jebres, Solo. Pengirim karangan bunga itu di antaranya berasal dari Komite SMPPT Az-Zayadiyy, Yayasan Azzayadiyy, Kapolres Sukoharjo dan lainnya.
Para pelayat tampak berdatangan ke rumah duka AK yang berada di dalam gang. Ibunda korban tampak terus menangis di dekat peti jenazah yang diletakkan di ruang tamu. Sedangkan sang ayah, Tri Wibowo, berusaha tegar tampak menyalami para pelayat yang melayat ke rumah duka.
Ayah korban, Tri Wibowo menjelaskan anak pertama dari tiga bersaudara itu menjadi korban dugaan bullying dengan tindak kekerasan di asrama pondok pesantrennya. Anaknya itu diduga meninggal dunia setelah mendapatkan tindak kekerasan dari kakak kelasnya di pondok pesantren tersebut.
“Kalau berdasarkan informasi yang saya dapatkan, memang anak saya itu mohon maaf memang bisa dibilang korban kekerasan yang dilakukan oleh salah satu santri kakak tingkatnya,” kata dia saat ditemui di rumah dukanya di Pucangsawit, Jebres, Solo, Selasa, 17 September 2024.
Menurut dia, anaknya menjadi korban tindak kekerasan itu hanya disebabkan dengan hal yang sepele. Yakni kakak tingkat yang duduk di kelas IX itu meminta rokok kepada anaknya tetapi permintaan itu tidak dipenuhi karena sang anak memang selama ini tidak pernah merokok.
“Saya pikir, masya Allah, sebab dan musababnya hal remeh banget. Hanya minta rokok dan dengan senioritasnya dia sampai berbuat kekerasan ke anak saya sampai mengakibatkan anak saya meninggal,” ucapnya.
Karena permintaan tersebut tidak dipenuhi, lanjut Wibowo, anaknya diduga dipukuli oleh kakak tingkatnya di pondok pesantren yang beralamat di Sanggrahan, Grogol, Sukoharjo itu. Namun bekas tindak kekerasan itu tidak terlihat di tubuh korban sehingga pihak keluarga memutuskan untuk melakukan autopsi di salah satu rumah sakit.
“Ada pemukulan. Tapi saya belum bisa pastikan di bagian mana karena saya waktu lihat secara langsung saat meninggal dunia itu bagian luar seperti tidak terlihat apa-apa. Jadi makanya pihak keluarga memutuskan untuk autopsi biar semuanya jelas. Kita nggak mau ditutup-tutupi, bukan saya dendam, pingin memusuhi tidak tapi saya pingin anak saya yang terakhir (menjadi korban),” jelas dia.
“Jangan ada lagi (tindak kekerasan di pondok pesantren), pondok pesantren tetap pilihan yang terbaik untuk anak-anak. Tapi tolong jangan sampai ada korban lagi, kasihan. Mereka sudah jauh dari orangtua mau belajar harus dikerasin, ini kasihan,” imbuhnya.
Sumber: viva