OLEH: TONY ROSYID*
SAAT ini Anies Baswedan adalah leader terbaik yang disiapkan oleh bangsa ini. Begitu pengakuan publik. Pengakuan ini bukan hanya datang dari para pendukung, tapi juga datang dari para lawan.
Nasdem dan PKB yang semula kontra Anies di Pilgub DKI Tahun 2017, akhirnya menjadi pengusung Anies di Pilpres 2024. Hampir saja dua partai ini mengusung kembali Anies di Pilgub Jakarta.
Namun dua partai ini berhasil kena operasi kekuasaan. Akhirnya, Nasdem dan PKB gagal calonkan Anies karena terlalu besar risikonya. Lebih besar dari risiko saat pilpres kemarin. Begitu pengakuan kedua ketum partai itu.
Begitu juga dengan PDIP. Suara DPD PDIP Jakarta bulat mengsusulkan Anies dicalonkan di Pilgub Jakarta. Lagi-lagi, tangan kekuasaan terlalu kuat untuk dilawan. Dua penguasa (lama dan baru) punya segala cara untuk menghentikan PDIP agar tidak calonkan Anies. Akhirnya, PDIP menyerah. Anies pun gagal nyalon.
Besar kemungkinan akan ada banyak cerita yang dibuka pasca 20 Oktober 2024 ini, saat terjadi pergantian presiden. Ini suatu hal yang biasa terjadi dalam sejarah politik.
Lalu kemana langkah Anies setelah secara sempurna sukses digagalkan jadi calon gubernur? Sebagian besar pendukungnya "ngotot" dan "mendesak" Anies membuat partai.
Nampaknya mereka terprovokasi di antaranya oleh sejumlah kader partai ideologis berplatform agama: "Anies bikin partai dong supaya punya tiket kalau mau nyagub dan nyapres".
Ini saran, tentu saja. "Gak mau jadi kader, hanya mengandalkan popularitas untuk menjadi calon". Lagi-lagi, sindiran kader partai ideologis yang sering berseliweran di medsos".
"Apa sih yang didapatkan partai pengusung dari Anies? Logistik enggak, tambahan suara juga enggak". Kata sejumlah kader partai yang sama. Nasib Anies memang lagi kurang baik. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah gak diusung, masih terus dihajar.
Apakah Anies akan mendirikan partai? Belum ada yang tahu. Mungkin Anies sedang belanja "masukan" dan khusuk' istikharah. Ini mungkin ya...
"Tapi, salat Jokowi lebih baik dari pada salat Anies," kata salah satu tokoh di partai ideologis itu. Saya gak berani ikut komentar, karena saya bukan panitia surga.
Yang tidak banyak disadari bahwa kedaulatan partai itu bukan di tangan kader, apalagi konstituen. Tapi ada di Kemenkumham.
Apapun keinginan konstituen, tidak sama dengan keinginan kader. Keinginan kader, tidak selalu sama dengan keinginan ketua umum. Keinginan ketua umum bisa diveto oleh Kemenkumham.
Jika Anies mendirikan partai, yang dihadapi bukan para pendukung dan pesaing, tapi Kemenkumham. Legalitas ada di Kemenkumham. Mau calon gubernur saja dijegal, apalagi mau dirikan partai. Akan dianggap lebih berbahaya.
Bagaimana dengan ormas? Kalau dijegal juga, bisa bikin komunitas. Gak butuh administrasi dan gak perlu izin. Namanya juga komunitas atau paguyuban.
Di organisasi ini, Anies bisa buat struktur yang agak gemuk. Misal, ketum, sekjen dan bendum. Wakil ketua ada sembilan bidang. Ini misalnya. Biar mirip Walisongo, ada sembilan. Atau ambil berkah dari sembilan bintang NU (Nahdhatul Ulama). Anggap saja organisasi yang akan Anies dirikan adalah bagian dari kebangkitan rakyat.
Sembilan ketua bidang itu diantaranya 1) bidang ekonomi dan keuangan, 2) bidang hukum dan HAM, 3) bidang pendidikan, 4) bidang urusan agama, 5) bidang politik dan keamanan, 6) bidang ESDM, 7) bidang pertanian, peternakan dan perkebunan, 8) bidang kehutanan dan lingkungan hidup, 9)bidang sosial.
Sekali lagi, ini misalnya. Hanya contoh saja.
Anies bisa rekrut para expert yang punya integritas, kapasitas dan yang selama ini punya konsistensi daya kritisnya terhadap kebijakan yang salah dari pemerintah. Refly Harun, Bambang Widjojanto, Abdullah Hehamahua, Tom Lembong, Marwan Batubara, Said Didu, Anthony Budiawan, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Ubedilah Badrun, dll, bisa dimasukkan menjadi bagian dari organisasi ini.
Organisasi ini berperan pertama, sebagai kontrol terhadap penguasa di saat parpol dan DPR tidak lagi berfungsi dengan baik. Organisasi ini bisa menjadi semacam oposisi. Tujuannya? Agar penguasa bekerja dengan baik, dan tidak mengambil rute yang salah dalam mengelola negara. Peran oposisional seperti ini tidak kalah penting dan sangat dibutuhkan.
Kedua, panggung Anies tetap terjaga, setidaknya untuk lima tahun ke depan. Anies tetap bisa tampil sebagai leader yang dengan gagasan-gagasan briliannya bisa jadi masukan buat kebijakan bangsa.
Penguasa mestinya tidak alergi terhadap ini semua. Termasuk terhadap kritik konstruktif dari para pakar yang tergabung dalam organisasi yang dikomandoi Anies.
Siapa pun mesti berjiwa ksatria dan negarawan dengan memberi ruang dan kesempatan kepada siapapun untuk mengambil posisi sebagai kompetitor politiknya. Termasuk Anies.
*(Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)