GELORA.CO - Kebijakan lobster yang digulirkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono diduga penuh skandal.
Kebijakan yang berpangkal pada Permen KP Nomor 7/2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus spp.) itu melibatkan perusahaan joint venture dengan Vietnam. Berbagai kejanggalan dari kebijakan ini banyak ditemukan sejak awal.
Partai Negoro dan Front Nelayan Indonesia (FNI) sudah dua kali melaporkan Trenggono ke KPK terkait bisnis benih bening lobster (BBL). Pertama pada Jumat (12/7) dan kedua pada (30/8). Sebelumnya, KPK juga sudah memanggil Trenggono terkait pengusutan kasus proyek fiktif Telkom.
Trenggono pun hadir ke KPK pada Jumat (26/7) didampingi Sekjen KKP Komjen. Pol. Prof. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho untuk memberikan keterangan.
Terkait itu, Ketua Serikat Nelayan Bima, Musaitin, yang juga ikut melaporkan Trenggono ke KPK bersama Ketua FNI Rusdianto Samawa mendesak untuk segera ada pemeriksaan terkait skandal BBL berdasarkan skema kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Jutaan benih lobster sudah mengalir ke Vietnam. Lima bulan ini sudah mendekati 6 juta ekor. Anehnya, PNBP cuma Rp3,6 miliar. Kemana sisanya? KPK perlu percepat penyidikan dan panggil menteri KKP, BLU dan 5 perusahaan ekspor BBL. Karena didaga, benih diselundupkan ke Vietnam melalui jalur legal. Modusnya, per kantong bisa berisi lebih banyak dari aturan juklak juknis dan SOP-nya,” kata Musaitin kepada RMOL, Jumat malam (13/9).
Ia pun memperoleh data besaran pendapatan negara dari yang tertera di PMO 724. Sejak Juli 2024, pendapatan negara tertulis Rp3.606.692.000, di mana Rp2.705.019.000 diperuntukan untuk masyarakat dan Rp901.673.000 akan dikelola BLU untuk pengelolaan lobster.
Sedangkan berdasarkan hasil investigasinya di lapangan, Musaitin menaksir nilai kerugian negara mencapai Rp39,4 miliar hingga Rp70 miliar per tahun 2024. Angka tersebut diperoleh jika besaran PNBP dihitung dari Rp4 ribu per ekor.
“Penyelidikan KPK bisa dimulai dari analisa kebijakan dan pembuktiannya. Itu lebih gampang. Barang bukti penyelundupan benih lobster secara legal itu yang dikirim ke Vietnam, memiliki data yang cukup,” ungkapnya.
Lanjut dia, KPK bisa minta bukti ke KKP, BLU dan 5 perusahaan yang mendapat izin ekspor.
“Perlu juga ditelisik dari kebutuhan Vietnam yang mencapai 600 juta ekor per tahun. Seluruh kebutuhan itu dipenuhi oleh benih bening lobster dari Indonesia, baik secara legal maupun black market,” bebernya.
Dengan demikian, dia menegaskan bahwa kebijakan ini berpotensi merugikan negara dan tentunya para nelayan serta pembudidaya.
“Salah satu indikatornya, pasal-pasal dari Permen KP 7/2024 itu tersirat dan tersurat ada monopoli (dari perusahaan joint venture) dan sangat merugikan nelayan,” tegasnya.
“KPK harus percepat periksa Menteri KKP, BLU, dan perusahaan yang mendapat izin ekspor. Karena mereka sudah menyalahgunakan kekuasaan yang menguntungkan kelompok dan pribadi,” tandas Musaitin.
Sejak Permen ini diterbitkan pada Maret 2024, Tempo sudah mengulas potensi korupsi dari penjualan BBL ke luar negeri. Namun KKP membantah keras tudingan tersebut.
Pada Juli 2024, KKP meluncurkan website Project Management Office (PMO) 724 mengenai data real-time perdagangan BBL di seluruh Wilayah Pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPPRI), termasuk besaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Di lain sisi, KKP juga menegaskan bahwa semangat dari Permen KP 7/2024 adalah budidaya, bukan pengiriman ke luar negeri. KKP menyebut Jembrana, Bali sebagai sentra budidaya lobster dari program kebijakan ini. Namun 5 bulan berlalu, kondisi budidaya di Jembrana masih jauh dari harapan.
Sejauh ini baru 200 ribu ekor BBL yang ditebar dengan estimasi panen pada Desember 2024 mendatang. Sementara BBL yang ditangkap untuk dikirim ke Vietnam sudah mencapai jutaan.
Sumber: rmol