Iuran pensiun tambahan wajib akan potong upah pekerja – Apa bedanya dengan iuran BPJS-TK?

Iuran pensiun tambahan wajib akan potong upah pekerja – Apa bedanya dengan iuran BPJS-TK?

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Iuran pensiun tambahan wajib akan potong upah pekerja – Apa bedanya dengan iuran BPJS-TK? 

Pemerintah sedang merancang peraturan baru terkait dana pensiun tambahan wajib yang akan memotong upah pekerja. Namun rencana ini menuai kritik dan penolakan dari para pekerja yang khawatir akan semakin terbebani secara ekonomi.

Ekonom, pakar jaminan sosial hingga pakar hukum ketenagakerjaan sepakat bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk menerapkan iuran tambahan wajib.

Masyarakat kelas menengah, yang kemungkinan menjadi target kebijakan ini, sedang mengalami tekanan yang mengakibatkan sekitar 9,5 juta orang turun kelas dalam lima tahun terakhir.

“Ada semakin banyak beban iuran tambahan yang diberikan kepada pekerja, tapi pemerintah tidak memperhatikan laju pertumbuhan upah. Jadi upah riil pekerja akan berkurang dan daya beli akan turun,” kata Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC), Andriko Otang kepada BBC News Indonesia pada Jumat (06/09).


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan peraturan pemerintah soal ini masih dirancang, namun disebutkan pula bahwa dana pensiun wajib ini arahnya akan disalurkan melalui lembaga pengelola nonbank berupa Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK).

Menurut pengamat jaminan sosial Timboel Siregar, itu berarti iuran dana pensiun wajib ini nantinya tidak akan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK).

“Kita sudah punya jaminan pensiun yang dikelola BPJS-TK, itu saja belum maksimal dilaksanakan, pemerintah malah memunculkan program baru yang bersifat wajib,” kata Timboel.

Bagi sejumlah pekerja, menambah iuran dana pensiun bukanlah prioritas saat ini karena manfaatnya baru terasa puluhan tahun lagi.

Saat ini, mereka tertekan oleh kenaikan upah yang tak mengejar laju inflasi, ancaman PHK yang mengintai, dan beragam masalah jaringan pengaman sosial yang sudah berjalan.


“Potongan-potongan itu akan semakin membunuh kenaikan gaji saya,” kata Abi, bukan nama sebenarnya, seorang pekerja kelas menengah berusia 31 tahun di Jakarta.

Kritik senada juga disampaikan Filani, 32, yang punya masalah dengan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) serta Jaminan Pensiun (JP) BPJS-TK miliknya.

Menurutnya, pemerintah semestinya membereskan masalah ini dulu ketimbang mewajibkan program baru.

“Masih ada perusahaan yang menunggak atau enggak bayar iuran JHT dan JP. Saya kerja hampir empat tahun, gaji sudah naik tiga kali, tapi ternyata yang dilaporkan perusahaan ke BPJS-TK masih UMR terus jadi nilainya segitu-gitu aja,” kata Filani.

Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengingatkan pemerintah untuk “memberi napas” kepada kelas pekerja.

Kebijakan semacam ini, menurut Esther, hanya akan memicu spekulasi bahwa pemerintah berupaya memaksimalkan pemasukan dari masyarakat di tengah ruang fiskal APBN yang tambah sempit.

“Dana pensiun ini jangka panjang jatuh temponya, sehingga masyarakat diminta iuran dulu dan nanti bisa menjadi sumber pembiayaan jangka panjang,” kata Esther.

Mengapa ada iuran dana pensiun tambahan?

Menurut OJK, rencana ini adalah tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Regulasi ini mengatur pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib.

Pasal 189 ayat 4 UU itu menyebutkan bahwa program pensiun tambahan wajib ini dapat dikenakan bagi pekerja dengan penghasilan tertentu.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menuturkan manfaat yang diterima para pensiunan saat ini masih relatif sangat kecil.

“[Manfaat] itu hanya sekitar 10-15% dari penghasilan terakhir yang diterima pada saat aktif [bekerja],” tutur Ogi dalam konferensi pers pada Jumat (06/09).

“Sementara upaya untuk peningkatan perlindungan hari tua juga memajukan kesejahteraan umum dari ILO [Organisasi Buruh Internasional] itu ada standar yang ideal, itu adalah 40%,” sambungnya.

Namun sejauh ini, dia mengatakan belum ada ketentuan soal berapa batas pendapatan pekerja yang akan dikenakan iuran wajib.

“Belum ada, karena PP [Peraturan Pemerintah]-nya belum diterbitkan,” kata Ogi.

Sebelumnya, dilansir Detik.com, Ogi mengatakan aturan tersebut akan keluar pada Januari 2025.


Skema iurannya pun belum jelas, namun menurut Ogi, arahnya akan dikelola oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK).

Sebagai gambaran, ada dua jenis lembaga keuangan nonbank yang dapat mengelola dana pensiun di Indonesia, yakni DPPK dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).

DPKK ini didirikan oleh perusahaan untuk sebagian atau seluruh karyawannya.

Sedangkan DPLK didirikan oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk masyarakat umum, baik karyawan atau pekerja mandiri. Salah satu contoh DPLK adalah Jiwasraya.

Apa bedanya dengan iuran BPJS-TK?
Dari sisi manfaat yang diterima peserta, Ogi mengatakan bahwa iuran dana pensiun tambahan ini akan mirip dengan Jaminan Pensiun (JP) BPJS-TK.

Artinya, manfaatnya akan diterima peserta secara rutin setiap bulan setelah pensiun.

“Jadi ini beda dengan Jaminan Hari Tua di BPJS-TK yang saat pensiun itu boleh dicairkan secara tunai [sekaligus],” kata Ogi.

Namun Andriko Otang dari TURC dan pengamat jaminan sosial Timboel Siregar memberi catatan penting perihal dana pensiun wajib ini.


Kalau arah pengelolaannya benar-benar dilakukan oleh DPKK, maka ini akan menjadi iuran wajib baru yang terpisah dengan iuran JP dan JHT ke BPJS-TK.

Itu artinya pekerja yang terdampak kebijakan ini kemungkinan akan membayar iuran pensiun ke dua pengelola yang berbeda.

“Logika apa yang digunakan oleh pemerintah soal kenapa harus dipisah, ini pemerintah harus menjelaskan, kenapa dana pensiun tambahan ini terpisah dari program jaminan pensiun [BPJS] yang saat ini ada,” kata Andriko.

“Perusahaan pun juga akan keberatan, mereka sudah membayar iuran DPLK/DPPK tapi kenapa harus membayar iuran BPJS-TK lagi? Itu kan jadi dobel,” ujarnya.

Mekanisme pengelolaan dana pensiun antara BPJS dengan DPLK/DPPK pun berbeda, kata Timboel dan Andriko.

BPJS adalah badan hukum publik untuk jaminan sosial. Mereka boleh mencari untung, tetapi untuk dikembalikan ke para pekerja sebagai penerima manfaat.

Sedangkan DPLK/DPPK lebih berorientasi untung karena dikelola oleh badan usaha.

Bentuk pertanggungjawabannya pun berbeda. BPJS berada di bawah tanggung jawab presiden langsung.

Kalau sampai BPJS mengalami defisit, maka pemerintah bisa memberikan suntikan dari APBN sebagai bentuk tanggung jawab. Sementara itu, DPLK/DPPK diawasi oleh OJK.

“Kalau mereka gagal investasi, siapa yang menjadi penanggungjawab? Banyak DPPK dan DPLK yang hancur-hancuran, sekarang dana pensiun tambahan malah mau diterapkan ke sana. Siapa yang mau bertanggungjawab?” kata Timboel.

Kasus gagal bayar dan korupsi di Jiwasraya disebut kurang lebih menggambarkan risiko itu.

Ada pula praktik di mana perusahaan justru memanfaatkan iuran pensiun lewat DPLK/DPPK untuk memenuhi pesangon karyawan yang di-PHK.

"Kalau seperti itu, niat DPPK dan DPLK-nya bukan untuk masa pensiun," kata Timboel.

Masalahnya, pengawasan dan penindakan terhadap praktik-praktik ini pun dia nilai masih lemah.

"Jadi enggak ada kepastian bagaimana mereka mengelola uang masyarakat? Sementara saat ini DPLK/DPPK itu banyak yang berantakan. Pemerintah memaksa pekerja membayar, tapi enggak bisa menjamin risikonya," ujar Timboel.

Menambah potongan yang ‘membunuh’ kenaikan upah
“Apalagi sih ini? Nambah-nambah potongan aja,” kata Abi, 31, seorang karyawan swasta di Jakarta ketika pertama kali mengetahui soal wacana iuran dana pensiun tambahan.

Abi, bukan nama sebenarnya, mengaku kesal sekaligus was-was dengan wacana kebijakan ini. Potongan yang sudah berlaku sekarang saja sudah melebihi kenaikan gajinya.

Menurut Abi, upahnya naik sekitar Rp400.000 pada awal 2024 sebagai penyesuaian terhadap inflasi.

Setiap bulan, upahnya dipotong iuran JHT sebesar Rp174.000, JP sebesar Rp87.000, dan BPJS Kesehatan sebesar Rp217.500. Jumlah itu adalah yang dibebankan kepadanya sebagai pekerja, di luar yang ditanggung oleh perusahaan.

Itu juga belum termasuk potongan lain seperti PPh 21 yang juga wajib.

“Sekarang saja besar potongannya sudah lebih besar dari kenaikan upah tahunan, kalau nanti nambah lagi dana pensiun ini, Tapera, jadinya potongan-potongan itu akan semakin membunuh kenaikan gaji saya,” kata Abi.

Tabungan dana pensiun bukan prioritas Abi saat ini karena dia masih harus menabung dana darurat. Apalagi Abi khawatir dengan ancaman PHK yang mengintai para pekerja.

Sejauh ini, iuran JHT dan JP adalah satu-satunya persiapan Abi untuk masa pensiun.

Sementara itu, Filani, 32, mengatakan bahwa pemerintah seharusnya fokus membenahi tata kelola sistem jaminan sosial yang sudah ada dulu ketimbang mengeluarkan kebijakan baru.

Setelah di-PHK, Filani baru mengetahui bahwa perusahaan tempat dia dulu bekerja melaporkan upahnya sebesar UMR. Padahal, gajinya sudah tiga kali naik.

Bahkan begitu dia hendak mengajukan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), perusahaan tidak kunjung menyerahkan surat keterangan bahwa dia terkena PHK ke Dinas Ketenagakerjaan.

Bagi Filani, jangankan memikirkan masa pensiun, masa sekarang saja terasa sulit.

"Yang seperti ini aja enggak kelar-kelar masalahnya, terus mau ada peraturan baru lagi?" kata Filani.

Pekerja lainnya, Meryam Zahida, 32, berpendapat sama. Dia menilai iuran dana pensiun tambahan ini tidak mendesak untuk diterapkan saat ini.

Selama bekerja, dia mengaku rutin menyisihkan penghasilannya untuk menabung, termasuk untuk dana pensiun.

Namun Meryam pernah terkena PHK pada tahun 2023, yang membuatnya menyadari ada isu-isu lain soal pekerjaan yang lebih mendesak diselesaikan oleh pemerintah yakni soal keamanan pekerjaan (job security).

“Pemerintah mau menagih iuran ke siapa kalau masyarakat banyak yang kehilangan pekerjaan? Sudah cukup pemerintah menarik iuran ke kelas menengah, sebaiknya tagih iuran pajak yang tinggi ke orang-orang kaya,” kata Meryam.

Menurut Direktur Eksekutif TURC, Andriko Otang, reaksi-reaksi itu sangat wajar dan bisa dipahami muncul dari kalangan pekerja dan kelas menengah.

Pekerja yang upahnya pas-pasan akan memiliki prioritas jangka pendek, sementara pemerintah tampaknya ingin para pekerja berpikir jangka panjang.

“Pemerintah harus melihat realita, mereka punya tidak alokasi yang cukup untuk membiayai dana tambahan itu? Kalau dipaksa, para pekerja tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar,” ujar dia.

Sementara itu, rata-rata kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pada 2015-2024 hanya rata-rata 6,6% per tahun.

“Kebutuhan jangka pendeknya saja belum terpenuhi, kok mikirnya yang jauh dulu. Jangan salahkan kalau kelas pekerja mengkritisi, jangan-jangan dananya digunakan untuk yang lain,” ujar Andriko.

Perlukah menambah iuran dana pensiun?
Secara prinsip, iuran pensiun yang diwajibkan oleh pemerintah melalui sistem jaminan sosial di BPJS-TK saat ini memang belum ideal untuk jangka panjang.

Menurut Timboel, idealnya besar iuran BPJS perlu naik secara bertahap menjadi 8% sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015.

Kalau tidak, BPJS berpotensi mengalami defisit pada tahun 2072 dan tidak mampu membayar manfaat bagi pekerja yang sudah pensiun.

Namun setelah hampir 10 tahun, pemerintah pun belum punya solusi atas itu.

Sejauh ini, iuran untuk JHT adalah sebesar 5,7% dari upah dengan pembagian 2% ditanggung pekerja dan 3,7% ditanggung perusahaan.

Untuk JP, iurannya sebesar 3% dengan pembagian 1% ditanggung pekerja dan 2% ditanggung perusahaan.

Selain untuk mencegah defisit, penambahan porsi iuran juga dinilai penting agar penerima manfaat dapat memperoleh dana pensiun yang lebih layak.

Ini dapat mengurangi potensi generasi selanjutnya menjadi “generasi sandwich”, ujar Andriko.

Akan tetapi, Andriko mengatakan skema baru bukanlah jawaban dari persoalan ini kalau pemerintah benar-benar punya niat untuk mensejahterakan masa pensiun para pekerja.

"Seharusnya diintegrasikan saja dengan yang sudah berjalan di BPJS-TK," kata Andriko.

"Kalau pemerintah mau memberlakukan, alternatifnya adalah menerapkan batas bawah penghasilan. Jadi masyarakat yang pendapatannya pas-pasan jangan kena. Kalau yang kena upahnya per bulan di atas Rp25 juta, reaksinya tidak akan sebesar ini

Sumber: Tribunnews 
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita