Tolak RUU Pilkada, KPPD: Rakyat Sudah Marah Konstitusi Dikebiri!

Tolak RUU Pilkada, KPPD: Rakyat Sudah Marah Konstitusi Dikebiri!

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Ketua Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPPD), Achmad Satryo Yudhantoko angkat bicara terkait revisi UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang berujung gelombang aksi massa besar-besaran yang terpusat di sekitar Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (22/8).

Menurut dia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengangkangi konstitusi merevisi secara kilat UU Pilkada, karena Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan 70/PUU-XXII/2024 ditafsir secara ugal-ugalan demi kepentingan segelintir elite.


"Cara-cara DPR telah mengebiri konstitusi, menabrak prosedur dalam menyusun peraturan perundang-undangan demi kepentingan segelintir elite tertentu," ujar sosok yang kerap disapa Ryo itu, saat ditemui di aksi demonstrasi di depan Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (22/8).  

Pria lulusan S1 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) itu menuturkan, DPR RI seharusnya tidak mengabaikan aspirasi masyarakat karena muncul berbagai penolakan terhadap RUU Pilkada ini.

"Rakyat sudah marah, tak lagi bisa lagi acuh dengan tindak-tanduk elite Senayan yang mengakomodir rezim. Harus mereaksi melalui parlemen jalanan," sambungnya menegaskan.

Ryo memandang, Putusan MK dalam literasi hukum tata negara adalah yang terakhir dan tak bisa lagi dianulir (final and binding). Sehingga, apabila DPR RI masih ngotot mengesahkan RUU Pilkada melalui Rapat Paripurna (Rapur) "colongan", maka  yang terjadi adalah pembangkangan terhadap konstitusi negara.

"Ini juga menjadi penyebab kenapa masyarakat marah terhadap sikap para wakil rakyat. Suara rakyat kan suara Tuhan, dilindungi konstitusi, mau diatur-atur tanpa melibatkan elemen masyarakat," jelas Ryo.

Di samping itu, Ryo juga menyoroti gelagat KPU yang terkesan menunda-nunda tindak lanjut putusan MK terkait aturan pencalonan kepala daerah, dengan melontarkan alasan wajib berkonsultasi dengan DPR agar tidak kena sanksi etik lagi dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Seharusnya KPU bisa independen dalam menjalankan tugasnya, dengan mematuhi putusan MK soal syarat ambang batas pencalonan kepala daerah dan batas usia minimum kepala daerah. Tidak terkesan mengekor DPR RI," tuturnya.

Oleh karenanya, Jurnalis RMOL itu berharap kondisi politik jelang Pilkada Serentak 2024 ini bisa kembali kondusif.

Menurutnya, hal itu bisa dilakukan apabila KPU RI sebagai penyelenggara pemilu dapat bersikap independen, memahami secara utuh hukum ketatanegaraan, dan melepas kendali politik yang selama ini dicurigai masyarakat luas.

Di samping itu, DPR RI sebagai pemangku kebijakan pembuat undang-undang tidak menjadi "Dewan Perwakilan Rezim" sehingga cawe-cawe dengan penguasa hari ini, tetapi mengembalikan peran dan fungsinya sebagai kepanjangan tangan rakyat Indonesia.

Pasalnya sebelum kejadian hari ini, KPPD mendapati dugaan politisasi aturan dalam UU di pesta demokrasi bukan hanya terjadi jelang Pilkada 2024, tetapi juga terbukti terjadi pada Pilpres 2024. Pasalnya, uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu diintervensi pihak luar MK.

"Jangan lagi ada perpecahan di masyarakat karena ego elite politik dalam berkuasa. Kedaulatan rakyat harus ditegakkan, dan semua pihak termasuk KPU dan DPR RI harus mematuhi putusan MK," tuturnya.

"Dan teman-teman jurnalis diharapkan dapat menjaga situasi tetap kondusif, dengan memastikan pemberitaan yang terpublikasi tak melanggar kode etik dan sesuai fakta yang didapat. Pers sebagai pilar keempat demokrasi harus mengawal Pilkada 2024 Jurdil dan Luber (jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia)," 

Sumber: RMOL 
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita