Rezim PBNU yang Memilukan

Rezim PBNU yang Memilukan

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: KH Abdussalam Shohib*
   
LAMA saya tidak memberi catatan terhadap perjalanan dan kinerja PBNU. Berharap semua berjalan sesuai dengan jargon ‘menghidupkan kembali pemikiran Gus Dur’. Terlebih, arah kepemimpinan PBNU 2022-2027 ditunjukkan melalui manifesto tertulis dalam buku “PBNU; Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, Tajdid Jam’iyyah untuk Khidmat Milenial”. 

Pemikiran yang seakan visioner serba pembaharuan berbasis peradaban, namun perlu dicermati secara jeli sambungan spirit-jiwa dan implementasinya; sambungan ruh dan jasadnya. Jangan terlena dengan kelincahan gerak ular kecil serta kelenturan manuvernya karena bisa-racun dan sengatannya juga berbahaya.
Dalam sambutan di Konferwil PWNU Jawa Timur, 2 Agustus 2024, Ketua Umum PBNU meyakinkan struktur NU dan nahdliyin tentang keberhasilan program-program PBNU. Optimis dengan keberhasilan. Serta mempersilahkan untuk memantau dan mencari sendiri informasi keberhasilan itu melalui media publikasi (internet) dan media informasi lain.


NU diyakini oleh Ketua Umum tidak hanya tentang jam’iyyah dan jama’ah, lebih dari itu sebagai peradaban kompleks meliputi perangkat nilai/norma, pembiasaan perilaku, berpikir, bersikap dan bertindak yang menuntut kebaharuan serta penyesuaian masa depan.

Bahkan keyakinan terhadap dogma (ajaran suci) agama –menurutnya- juga perlu disesuaikan dan diperbaharui. Karenanya banyak ketegangan, benturan, pertengkaran hingga konflik di dalam NU. Dengan entheng menilai “jangan khawatir dengan pertengkaran di dalam, toh tidak akan meninggalkan rumahnya di NU. Abaikan dan jangan dengarkan”. 

Publik dan Nahdliyin tentu mengetahui geger ‘konflik PBNU-PKB’, dipicu seteru hubungan selama hingga pasca-Pilpres 2024. Dan ketegangan itu merembes melibatkan perbedaan konstituen politik tingkat akar rumput di lingkungan NU, hingga sekarang. Ketegangan itu membelah secara diametral sosial-budaya nahdliyin yang telah menyatu secara alami dan penuh kearifan.

Konflik ‘PBNU kelola tambang’. Publik dan Nahdliyin memandang kesempurnaan dan kesucian nikmat berupa sumber daya alam melimpah, keindahannya, keseimbangan ekosistem dan keberlangsungannya harus dijaga dan dilindungi demi sejahtera masa depan. 

Tapi, PBNU melibatkan diri sebagai korporasi ekstraktif dengan menambang (mendapat IUPK) yang cenderung merusak, merudapaksa alam hingga merusak keseimbangan masa depan alam. Alasannya sederhana; “Masak dikasih uang tidak mau? Ya, maulah”.

Konflik pansus yang dipansuskan. Yakni penggunaan hak konstitusional lembaga negara (DPR-RI) melalui Pansus pengawasan penyelenggaraan haji tahun 2024 atas indikasi penyalahgunaan wewenang, rendahnya kualitas pelayanan, dan kurangnya pemenuhan standar hak jamaah haji Indonesia, dinilai sebagai sentimen pribadi dan upaya menjelekkan institusi NU. 

Karena Menteri Agama RI adalah adik kandung Ketua Umum PBNU. Kemudian menyalahkan PKB karena dianggap mempelopori pansus DPR-RI. Dan akhirnya PBNU membentuk ‘Pansus PKB’, seakan menggunakan ‘hak konstitusional’ PBNU terhadap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Jauh sebelumnya, sejak pelantikan PBNU masa khidmat 2022-2027, pilu di lingkungan NU terjadi seakan tak berkesudahan. Dimulai dari ‘penyingkiran’ kader potensial di dalam struktur NU karena dianggap ‘tidak sejalan, bahkan dinilai menghambat agenda pembaharuan PBNU’ hingga memasukkan muallaf  NU asal ‘bersertifikat’ ke dalam struktur NU, karena dinilai sejalan dan dibutuhkan demi agenda pembaharuan (tajdid).

Gaya hidup berjam’iyyah; kepemimpinan personal hingga pola penyelenggaraan jam’iyyah tidak mencerminkan teladan arif, wibawa dan kharisma organisasi keagamaan-kemasyarakatan. Sosok ‘penguasa dengan kuasanya yang vulgar’ dikedepankan demi tegak-gagah layaknya menegakkan sebuah pemerintahan negara.

Beraktivitas tidak lagi berbasis pesantren dan lembaga pendidikan tradisional yang menjadi kekuatan utama NU secara kultural. Tapi, lebih ingin menampakkan hidup jam’iyyah yang setara dengan gaya hidup peradaban global, yakni berbasis hotel dan lingkungan akademik yang diakui peradaban global.

Konferensi di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota sebagai mekanisme pergantian kepemimpinan NU dan peningkatan kualitas program ‘dikonflikkan’ dengan alasan tidak sesuai dengan kebijakan PBNU. Padahal konferensi adalah forum permusyawaratan tertinggi organisasi keagamaan-kemasyarakatan tingkat daerah, cermin kedaulatan Nahdliyin dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas ber-jam’iyyah di tingkat daerah.

Sebagian kecil dari suguhan fakta-fakta berjam’iyyah diatas menegaskan bahwa PBNU dengan slogan ‘menghidupkan pemikiran (jiwa) Gus Dur’, adalah kebohongan kalau tidak dikatakan memanipulasi ‘kebesaran Gus Dur’ demi ambisi pribadi dan kelompok. Merudapaksa kebesaran Muassis NU demi kuasa pribadi dan kelompok.

Bila meneladani Gus Dur, ikuti kebesaran jiwanya. Tidak bermental cengeng dan kacung, apalagi menjadikan PBNU sebagai bumper kuasa untuk melindungi ambisi pribadi dan kelompok, khususnya dalam kasus pansus haji. 

Perlu diingat. Gus Dur saat menjadi presiden dituduh (difitnah, karena hingga sekarang tidak pernah terbukti) atas Buloggate dan Bruneigate oleh para komprador politik, tidak pernah sekalipun meminta PBNU untuk membelanya. Bahkan melarang kiai-kiai dan tokoh-tokoh masyarakat membelanya. 

Gus Dur sebagai Presiden Indonesia, secara pribadi dan politik (bukan politik identitas) siap bertanggung jawab sendiri. Bahkan, secara pribadi siap menjadi bumper pelindung PBNU dan Nahdliyin dari potensi karut-marut urusan politik negara, serta menanggung seluruh konsekwensinya. Berbeda dan berkebalikan dengan PBNU saat ini.

Gus Dur adalah sosok yang dekat dan menyatu dengan pesantren, bahkan ‘merakyat’. Jiwa kehidupan pesantren dan masyarakat bawah terbawa dan menghiasi gaya kepemimpinan beliau saat menjadi Presiden. Gaya kepemimpinan Gus Dur di pentas lokal, nasional hingga global adalah ‘gaya saya’ dalam perasaan pribadi-pribadi rakyat dan peradaban NUsantara. Pola komunikasi Gus Dur adalah model komunikasi kebanyakan, sederhana tapi penuh makna. Berbeda dengan sekarang, pola komunikasinya ala pembesar dengan logika semesta; mengawang-awang, melayang-layang, dan melanglang mengarungi peradaban global.

Bagi Gus Dur, kepemimpinan NU senyatanya adalah kepemimpinan kiai-kiai kampung yang dilahirkan pesantren; yang menyatu dan mendalami kenyataan hidup Nahdliyin. Karenanya, pergantian kepemimpinan NU, pengembangan dan peningkatan program melalui mekanisme berjam’iyyah tidak lain adalah kedaulatan dan kemandirian kiai-kiai kampung produk pesantren dalam menyesuaikan perkembangan jam’iyyah secara arif dan bijaksana. Berbeda dengan sekarang, penuh intrik-kompetitif, manuver broker, hingga teknik manipulatif mengikuti mekanisme pasar kepemimpinan. Bahkan untuk itu, ditoleransi adanya intimidasi demi memenangkan kompetisi di pasar gelap.

Dengan demikian, terjadi inkonsistensi dalam memuliakan jam’iyyah, jamaah, dan visi organisasi keagamaan kemasyarakatan. Meruntuhkan keluhuran peradaban Islam NUsantara yang diyakini sebagai penyempurna keagungan peradaban di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak lain karena Rezim (sistem dan aturan) PBNU 2022-2024 yang mendekati watak komprador peradaban global, demi ambisi dan kepentingan pribadi serta kelompoknya. 

Karenanya tidak heran dengan jargon “kalau tidak setuju, tunggu Muktamar NU selanjutnya”. Benar-benar rezim memilukan; penyebar kesedihan, keprihatinan dan ketegangan yang tidak berkesudahan. 


*(Penulis adalah Pengasuh PP Mambaul Maarif Denanyar Jombang, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur masa khidmat 2018-2023.)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita