GELORA.CO - Revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang tidak
sesuai perintah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan memperumit
penyelenggaraan Pilkada serentak 2024.
Sebab, proses pencalonan kepala daerah yang tak sesuai perintah putusan MK,
pada akhirnya bisa digugat melalui sengketa perselisihan hasil pemilihan
umum (PHPU).
“Iya ini akan berpindah objek. Pasti dia akan menjadi objek sengketa. Kita
sudah tau ya ada beberapa putusan MK yang diabaikan di dalam konteks
pemilu, dan pada akhirnya dibatalkan MK,” ujar Pakar Hukum Tata Negara U
niversitas Andalas Charles Simabura, Rabu (21/8/2024).
Menurut Charles, upaya DPR mengakali putusan MK dengan revisi UU Pilkada
justru bisa merugikan banyak pihak.
Kondisi ini juga membuat ongkos penyelenggaraan Pilkada serentak 2024
menjadi semakin besar, karena munculnya berbagai persoalan.
“Proses pemilu itu keabsahannya menjadi inkonstitusional, bisa di bawa ke MK
dan justru ini akan semakin merugikan semua pihak. Biaya politiknya juga pasti
menjadi sangat besar kalau seandainya penyelenggaraan pilkada itu
bertentangan dengan putusan MK,” kata Charles.
Dalam rapat yang berlangsung hingga siang ini, Panitia Kerja (Panja) revisi UU
Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berupaya mengakali Putusan MK
Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang melonggarkan ambang batas (threshold)
pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu.
Baleg mengakalinya dengan membuat pelonggaran threshold itu hanya berlaku
buat partai politik yang tak punya kursi DPRD.
Ketentuan itu menjadi ayat tambahan pada Pasal 40 revisi UU Pilkada yang
dibahas oleh panja dalam kurun hanya sekitar 3 jam rapat.
Sementara itu, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mengatur threshold 20
persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan bagi
partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen.
"Disetujui Panja 21 Agustus 2024 Usulan DPR pukul 12.00 WIB," tulis draf revisi
itu.
Padahal, justru pasal itu lah yang dibatalkan MK dalam putusannya kemarin.
Tidak ada perlawanan berarti dari para anggota panja untuk membela putusan
MK yang sebetulnya berlaku final dan mengikat.
Sebelumnya, dalam putusannya, MK menyatakan bahwa threshold pencalonan
kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai
politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya atau 20 persen
kursi DPRD.
MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik
disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur
independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan
42 UU Pilkada.
MK menegaskan, hal ini demi menghindari berjalannya demokrasi yang tidak
sehat karena threshold versi UU Pilkada rentan memunculkan calon tunggal.
MK sendiri sudah berulang kali menegaskan bahwa putusan Mahkamah
berlaku final dan mengikat.
Majelis hakim konstitusi sudah mewanti-wanti konsekuensi untuk calon kepala
daerah yang diproses dengan pembangkangan semacam itu.
"Sesuai dengan prinsip erga omnes, pertimbangan hukum dan pemaknaan
Mahkamah terhadap norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 (tentang
Pilkada) mengikat semua penyelenggara, kontestan pemilihan, dan semua
warga negara," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra membacakan pertimbangan
putusan itu, Selasa (20/8/2024).
"Dengan demikian, jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam
putusan Mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang
berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan
calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud,
berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah," tegas dia.
Sumber: kompas