Revisi UU Pilkada Tak Sesuai Putusan MK Memperumit Penyelenggaraan Pilkada 2024

Revisi UU Pilkada Tak Sesuai Putusan MK Memperumit Penyelenggaraan Pilkada 2024

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang tidak 
sesuai perintah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan memperumit 
penyelenggaraan Pilkada serentak 2024.

Sebab, proses pencalonan kepala daerah yang tak sesuai perintah putusan MK, 
pada akhirnya bisa digugat melalui sengketa perselisihan hasil pemilihan 
umum (PHPU).

“Iya ini akan berpindah objek. Pasti dia akan menjadi objek sengketa. Kita 
sudah tau ya ada beberapa putusan MK yang diabaikan di dalam konteks 
pemilu, dan pada akhirnya dibatalkan MK,” ujar Pakar Hukum Tata Negara U
niversitas Andalas Charles Simabura, Rabu (21/8/2024).

Menurut Charles, upaya DPR mengakali putusan MK dengan revisi UU Pilkada 
justru bisa merugikan banyak pihak.

Kondisi ini juga membuat ongkos penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 
menjadi semakin besar, karena munculnya berbagai persoalan.

“Proses pemilu itu keabsahannya menjadi inkonstitusional, bisa di bawa ke MK 
dan justru ini akan semakin merugikan semua pihak. Biaya politiknya juga pasti 
menjadi sangat besar kalau seandainya penyelenggaraan pilkada itu 
bertentangan dengan putusan MK,” kata Charles.

Dalam rapat yang berlangsung hingga siang ini, Panitia Kerja (Panja) revisi UU 
Pilkada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berupaya mengakali Putusan MK 
Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang melonggarkan ambang batas (threshold) 
pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu.

Baleg mengakalinya dengan membuat pelonggaran threshold itu hanya berlaku 
buat partai politik yang tak punya kursi DPRD.

Ketentuan itu menjadi ayat tambahan pada Pasal 40 revisi UU Pilkada yang 
dibahas oleh panja dalam kurun hanya sekitar 3 jam rapat.

Sementara itu, Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang mengatur threshold 20 
persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tetap diberlakukan bagi 
partai-partai politik yang memiliki kursi parlemen.

"Disetujui Panja 21 Agustus 2024 Usulan DPR pukul 12.00 WIB," tulis draf revisi 
itu.

Padahal, justru pasal itu lah yang dibatalkan MK dalam putusannya kemarin. 
Tidak ada perlawanan berarti dari para anggota panja untuk membela putusan 
MK yang sebetulnya berlaku final dan mengikat.

Sebelumnya, dalam putusannya, MK menyatakan bahwa threshold pencalonan 
kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai 
politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya atau 20 persen 
kursi DPRD.

MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik 
disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur 
independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 
42 UU Pilkada.

MK menegaskan, hal ini demi menghindari berjalannya demokrasi yang tidak 
sehat karena threshold versi UU Pilkada rentan memunculkan calon tunggal.

MK sendiri sudah berulang kali menegaskan bahwa putusan Mahkamah 
berlaku final dan mengikat.

Majelis hakim konstitusi sudah mewanti-wanti konsekuensi untuk calon kepala 
daerah yang diproses dengan pembangkangan semacam itu.

"Sesuai dengan prinsip erga omnes, pertimbangan hukum dan pemaknaan 
Mahkamah terhadap norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 (tentang 
Pilkada) mengikat semua penyelenggara, kontestan pemilihan, dan semua 
warga negara," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra membacakan pertimbangan 
putusan itu, Selasa (20/8/2024).

"Dengan demikian, jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam 
putusan Mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang 
berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan 
calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, 
berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah," tegas dia.

Sumber: kompas
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita