Politik Terlalu Kasar, Siapa Pelakunya?

Politik Terlalu Kasar, Siapa Pelakunya?

Gelora News
facebook twitter whatsapp




OLEH: ADIAN RADIATUS*

PENGUSAHA jalan tol Jusuf Hamka alias Babah Alun bilang "politik terlalu kasar". Ini mengiringi keputusannya untuk keluar dari Partai Golkar termasuk pencalonannya di kontestasi Pilkada Jawa Barat. 

Sebuah pernyataan yang singkat, ironis dan dalam maknanya. Bahkan terlalu dalam bila dikaitkan dengan marwah semokrasi Pancasila yang sangat kita junjung tinggi dan banggakan dalam menyuarakannya.


Tetapi apa yang terjadi di Partai Golkar adalah "luka" konstitusi politik Indonesia yang parah. Karena menganga lebar lukanya itu dan terjadi karena ada yang sengaja 'menyayatnya' tanpa peduli besarnya dampak bagi kehidupan politik partai yang mandiri dan berintegritas.

Di dalam pernyataannya dengan tegas, Babah Alun menyatakan masalah bukan datang dari internal tapi eksternal. 

Tidak mengherankan sebenarnya melihat perjalanan intrik-intrik politik yang dijalankan oleh klan Joko Widodo alias Jokowi sejak dua-tiga tahun lalu, di mana sekali lagi "Jokowi tiga periode" adalah pemicu rentetan cawe-cawe politik yang terus bergulir.

Namun preseden yang terjadi di Golkar ini sudah melampaui batas cawe-cawe. Karena di samping soal perebutan kekuasaan politik partai, telah terjadi pula "pembunuhan" karakter.

Bukan saja kepada pribadi-pribadi tetapi karakter Partai Golkar itu sendiri seutuhnya. Tragedi yang harus Golkar sendiri atasi, imbangi dan selesaikan dengan melawannya secara kematangan politik yang dimilikinya sejak berdiri, hingga sebelum Airlangga Hartarto mengundurkan diri selaku ketua umum.

Siapa pelakunya? Tentu semua pihak mafhum yaitu yang sangat berkuasa di negeri ini, namun ahli dalam membantah perbuatannya sendiri. Menampilkan keluguan namun keberingasan di baliknya. Wajah yang membuat budaya politik Indonesia menjadi jorok, kotor dan kehilangan kehormatannya di mata rakyat.

Seberapa besar Jokowi membantah sebuah kejadian politik buruk, maka sebesar itu pula rakyat balik membantahnya. Bahkan terkadang lebih besar lagi dan dalam konteks seperti ini Presiden Jokowi jadi tampak sendiri, tak berdaya serta bergelimang dosa percaweannya yang melebar kemana-mana hingga ranah pilkada. 

Publik menunggu reaksi dan pernyataan jelas tegas dari Jokowi secara terbuka meskipun sulit dipercaya.

Tetapi ini jauh lebih berarti ketimbang namanya menjadi cibiran, cacat cela pelaku politik "devide at impera" ala kolonialisme. 

Rakyat menginginkan presiden yang terhormat, berintegritas dan membanggakan untuk diceritakan apalagi masa tugasnya hampir selesai. 

Jangan menjadi "misteri guest" sebagai pelaku politik kasar di negeri yang damai dan indah ini.

*(Penulis adalah pemerhati sosial politik)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita