GELORA.CO - Kalangan pengusaha mulai merasakan dampak dari melemahnya daya beli kelas menengah di Indonesia. Para pengusaha mulai mengakui bahwa hidup sebagai kelas tanggung di Indonesia tengah terseok-seok.
Wakil Ketua Komite Tetap Kebijakan Fiskal & Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anggana Bunawan, menilai jika pelemahan daya beli masyarakat ini tengah mendapat perhatian serius dari dunia usaha. Pasalnya, pelemahan daya beli masyarakat ini pasti juga berimbas pada perekonomian.
"Salah satu sumber pertumbuhan yang paling produktif di Indonesia ini adalah konsumsi dalam negeri, dan kita tahu porsi terbesar masyarakat adalah kelas menengah," kata Anggana pada Kamis, (1/8/2024).
Kelas menengah, ujarnya, dihantam oleh berbagai masalah selama pandemi Covid-19 dan berbagai peristiwa yang mengiringinya belakangan. Kelas menengah pun bukan golongan yang mendapatkan bantuan sosial sehingga kondisi ekonominya sangat terpengaruh.
"Mereka sekarang semakin mengurangi porsi simpanan mereka, satu indikasi untuk mereka kemudian mengerem konsumsi," jelasnya.
Adapun faktor eksternal maupun internal yang turut berpengaruh pada daya beli masyarakat yang tergerus itu misalnya harga pangan dalam negeri yang melonjak tinggi telah mengurangi kemampuan belanja kelompok ini.
Ditambah dengan era suku bunga tinggi membuat uang mereka boncos untuk membayar kredit.
"Teman-teman yang sedang mengambil kredit seringkali mendapatkan revisi suku bunga, itu cukup mengurangi ruang gerak mereka," katanya.
Kelas menengah, sebutnya, di luar konsumsi juga sedang dibuat pusing dengan mencari pekerjaan. Banyaknya otomatisasi di berbagai sektor lapangan kerja membuat para kelas menengah tidak percaya diri dengan kemampuannya dalam mencari pekerjaan yang lebih baik.
"Ada kekhawatiran bagaimana keberlangsungan pekerjaan mereka itu tetap tersedia, sehingga mereka akan bersikap sangat hati-hati dalam mengkonsumsi barang," tuturnya.
Untuk diketahui, sejumlah ekonom sebelumnya mencatat terjadi penurunan proporsi kelas menengah di Indonesia setelah pandemi Covid-19. Menurut data dari Bank Mandiri, proporsi kelas menengah RI pada tahun 2019 masih mencapai 21% dari populasi. Akan tetapi, jumlah tersebut merosot pada tahun 2023 menjadi 17%.
Seiring dengan menurunnya jumlah kelas menengah, masyarakat yang masuk kelompok aspiring middle class (AMC) atau calon kelas menengah naik.
Begitupun dengan proporsi kelas rentan yang turut naik. Pergeseran tersebut diduga terjadi lantaran banyak warga kelas menengah yang jatuh miskin karena menghadapi berbagai dinamika yang terjadi selama pandemi Covid-19.
Dalam kesempatan yang sama, gabungan pengusaha mal nasional juga turut memperhatikan melemahnya kondisi perekonomian kelas menengah Indonesia tersebut. Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) pun meminta pemerintah untuk menunda 2 kebijakan yang kontradiktif dengan penguatan daya beli masyarakat.
Kedua kebijakan itu adalah penerapan PPN 12% pada 2025 dan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mulai efektif berlaku pada 2027.
Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja, yakin jika dua kebijakan tersebut bakal memberikan efek domino bagi perekonomian Indonesia.
Baik pengusaha maupun konsumen, ujarnya, akan sama-sama terpukul oleh kebijakan tersebut. Padahal, menurutnya kondisi pusat perbelanjaan belum pulih benar dari pandemi.
"Imbauan kami ke pemerintah adalah menghindari kebijakan-kebijakan yang berpotensi semakin menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah," ungkapnya.
Sumber: wartaekonomi