GELORA.CO - Dalam pidato politiknya baru-baru ini, Ketum PDIP Megawati Soekarnputri mengaku prihatin dengan kondisi Indonesia yang belum mencapai keadilan dan kemakmuran. Sambil berurai air mata, ia heran dengan kekayaan yang luar biasa cita-cita tersebut belum tercapai.
Kondisi ini, menurut Megawati terjadi karena kesalahan pemimpinnya, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Tiap malam saya nangis. Cuma ngelihatnya gini. Segede ini (menunjuk peta Indonesia) kenapa tidak bisa adil dan makmur ya. Lalu salahnya siapa? Pemimpinnya, pemimpinnya, pemimpinnya,” kata Megawati dalam pidato politiknya di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2024).
Seakan publik bisa dibodohi, Megawati jangan lupa Jokowi bisa duduk di singgasananya saat ini berkat PDIP. Partai banteng moncong putih pun turut menikmati kekuasaan, setidaknya selama 9 tahun, karena keretakan di antara Jokowi dan PDIP terjadi setahun terakhir akibat beda pilihan di Pilpres 2024.
"Kita lihat saja, civil society yang dulu berseberangan dengan pemerintah, kini dirangkul PDIP, harusnya itu dilakukan sejak dulu, untuk melakukan check and balances kepada pemerintahan Jokowi," kata Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam kepada wartawan.
Akademisi Universitas Sahid Jakarta itu juga melihat, PDIP saat ini sedang terkena hukum alam, karena selama 10 tahun berkuasa tidak mempedulikan suara civil society.
"Jadi ini hukum alam. Alam tengah menghukum PDIP, yang selama 10 tahun berkuasa terlalu memberi kepercayaan kepada Jokowi, bahkan banyak menyimpang dari masukan dan harapan publik selama ini," kata Saiful.
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, bukan hal aneh melihat sikap partai politik (parpol) dan politikus kerap berubah-ubah. Hal tersebut disebabkan kehidupan berpolitik tak lagi berlandaskan ideologi.
“Kian hari hubungan PDIP dengan Jokowi ini makin sengit kan. Jadi memang parpol itu kan sebenarnya ideologinya tidak ada, ideologinya itu transaksional dan pragmatis,” ujar Pangi.
Sikap pragmatis itu juga, kata dia, membuat masyarakat cenderung skeptis terhadap sikap parpol yang sering mengatasnamakan kepentingan rakyat. Menghadapi manuver politik Jokowi pun, akhirnya PDIP seperti makan buah simalakama.
“Tidak bisa tidak dikaitkan antara pemerintahan Jokowi dengan PDIP sekarang. Kalau Bu Mega mengatakan misalnya, ‘Lalu mengapa kalian yang baru berkuasa bertindak seperti Orde Baru?’ itu kan menampar wajah sendiri, serba dilematis,” ujar Pangi.
Asal tahu saja, sepak terjang Jokowi dalam kancah politik tanah air tak bisa dilepaskan dari PDIP. Partai besutan Megawati Soekarnoputri ini telah menyertai Jokowi dalam lima kali pemilihan kepala daerah (pilkada) dan dua kali pemilu presiden (pilpres)
Pilkada Surakarta 2005 menjadi debut kebersamaan Jokowi dan PDI-P di pentas politik. Saat itu, partai banteng memberikan kepercayaan kepada Jokowi dan FX Hadi Rudyatmo untuk berkontestasi sebagai calon wali kota dan calon wakil wali kota sebanyak dua kali, yang berakhir dengan kemenangan.
Jokowi yang popularitasnya terus menanjak, diutus oleh PDIP untuk berlaga di gelanggang Pilkada DKI Jakarta 2012. Saat itu, Jokowi dipasangkan dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dan mereka menang.
Dua tahun kemudian, Jokowi ditugaskan PDIP untuk maju ke panggung Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Kala itu, Jokowi mengaku mendapat kepercayaan langsung dari Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan tertinggi PDIP.
"Saya telah mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi capres dari PDI Perjuangan. Dengan mengucap bismillah, saya siap melaksanakan," kata Jokowi saat blusukan ke kawasan Marunda, Jakarta Utara, 14 Maret 2014.
Dengan dukungan PDIP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, dan Partai Hanura, Jokowi-Jusuf Kalla sukses mengantongi 53,15 persen suara.
"Saya pesan ke Pak Jokowi, sampeyan tak jadikan capres. Tapi jangan lupa ingat capresnya saja, Anda adalah petugas partai yang harus melaksanakan apa yang ditugaskan partai," pesan Megawati ke Jokowi dalam pidatonya saat deklarasi koalisi PDIP, Partai Nasdem, dan PKB di kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu 14 Mei 2014.
Bayang-bayang Megawati selama kepemipinan Jokowi di periode pertama begitu besar. Bahkan hasil survei yang diterbitkan Cyrus Network pada Desember 2014, menyebut 83 persen publik menilai Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri berpengaruh besar dalam mementukan arah kebijakan pemerintah.
Dalam komposisi kabinet saja, PDIP mendapat jatah menteri terbanyak. Dari 34 kursi menteri di Kabinet Kerja, sebanyak 15 orang berasal dari partai politik, lima di antaranya merupakan jatah PDIP. Yakni, Menko PMK, Mendagri, Menkumham, Menteri BUMN, MenKopUMKM.
"Dia tidak bisa lepas dari pengaruh ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Semakin jelas Jokowi adalah presiden boneka," kata politikus Partai Gerindra Andre Rosiade pada Minggu, 25 Januari 2015.
Cengkeram Megawati tetap berlanjut ke periode kedua pemerintahan Jokowi. Setidaknya hingga hari ini saja PDIP masih mendapatkan lima pos menteri meski setahun terakhir berseteru dengan Jokowi. Di antaranya, Menkumham, Mensos, Menteri PPPA, MenPAN-RB, Menteri PUPR dan Sekretaris Kabinet.
Sumber: inilah