GELORA.CO - Puluhan mantan anggota penyelenggara pemilu mendesak agar
Komisi Pemilihan Umum melaksanakan dua putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Mereka menilai, tak ada alasan bagi KPU
untuk tidak melaksanakan kedua putusan MK mengenai uji materi Pasal 7 ayat 2 huruf
e dan Pasal 40 Undang-Undang Pilkada.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2012-2017, Jimly
Ashiddiqie, mengatakan kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi dalam sistem
hukum nasional setara dengan undang-undang untuk dilaksanakan. “KPU sebagai
pelaksana hukum (self regulatory bodies) wajib melaksanakan putusan MK yang
bersifat final dan mengikat,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu lewat
keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 21 Agustus 2024.
Menurut Jimly, pelaksanaan putusan MK penting dilakukan untuk menjamin dan
melindungi hak kostitusional partai politik peserta Pemilu 2024 dalam mengusung
pasangan calon kepala daerah di Pilkada Serentak 2024. Selain itu, kata dia,
pelaksanaan putusan MK untuk mewujudkan pilkada yang demokratis dan adil.
“KPU agar segera menerbitkan revisi Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang
Pencalonan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota
dan Wakil Wali Kota,” kata dia.
Jimly bersama 27 mantan penyelenggara pemilu membuat pernyataan sikap mengenai
dua putusan Mahkamah Konstitusi dan kewajiban KPU untuk melaksanakannya. Para
mantan penyelenggara pemilu itu pernah bertugas di KPU, Badan Pengawas Pemilu,
dan DKPP.
Kedua putusan MK tersebut mengenai uji materi Pasal 7 ayat 2 huruf e dan Pasal 40
Undang-Undang Pilkada. Pasal 7 ayat 2 huruf e mengatur bata usia calon gubernur dan
wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon. Lalu Pasal
40 mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala dearah. Di sini
Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Awalnya,
ambang batas pencalonan yaitu didukung minimal 20 persen partai politik pemilik kursi
di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lalu ambang batas itu diubah menjadi didukung
oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 sampai 10 persen dari total suara
sah. Angka persentase dukungan partai politik itu disesuaikan dengan jumlah
penduduk di provinsi, kabupaten, maupun kota.
Namun, Panitia Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR menyiasati keputusan Mahkamah
Konstitusi tersebut saat pembahasan perubahan keempat Undang-Undang Pilkada,
Rabu, kemarin. Dalam perubahan Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, Baleg merumuskan
batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak
pelantikan pasangan calon terpilih.
Selanjutnya, rumusan Baleg terhadap Pasal 40 UU Pilkada adalah mengatur ambang
batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai
politik non-kursi di DPRD. Sedangkan ambang batas pencalonan bagi partai politik
pemilik kursi di DPRD adalah sebesar 20 persen dari jumlah kursi di Dewan atau 25
persen dari perolehan suara sah.
Anggota KPU Periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay, mengatakan Bawaslu seharusnya melaksanakan fungsi checks and balances untuk memastikan KPU melaksanakan
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Ia mengatakan, jika KPU dan Bawaslu tidak
melaksanakan tugas dan wewenang yang diperintahkan oleh undang-undang, DKPP
berdasarkan laporan atau pengaduan masyarakat, sepatutnya memberikan sanksi
maksimal atas tindakan penyelenggara pemilu yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
pemilu demokratis.
Hadar mengatakan KPU juga harus memastikan bahwa semua calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah memenuhi syarat usia terhitung sejak penetapan pasangan calon
oleh KPU. “Sebagai lembaga yang dijamin konstitusi, KPU mempunyai tanggung jawab
konstitusional untuk menyelenggarakan pilkada yang adil dan berintegritas,” ujar
Hadar.
Sumber: tempo