Makanya, Arzeti Bilbina menilai pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi penting untuk dilakukan dan Komisi IX DPR kata dia akanmendorong Pemerintah dan masyarakat untuk terus meningkatkan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas yang aman,.
hal itu ditegaskan Arzeti Bilbina dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (13/8/2024). Arzeti menilai, pendidikan kesehatan reproduksi bisa diberikan di lingkungan pendidikan formal.
Tentunya kata dia, materi disesuaikan dengan usia dan jenjang pendidikan siswa. Bahkan jika perlu, pendidikan reproduksi semakin dioptimalkan di lingkungan pendidikan formal seperti sekolah. Itu semata agar remaja kita bisa lebih memahami risiko jika melakukan hubungan seksual di usia dini.
Politisi dari Fraksi PKB ini menjelaskan, sejatinya data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkap tren pernikahan dini sejauh ini menurun. Dari semula 40 dari 1.000 perempuan remaja, saat ini perbandingannya hanya 26 dari 1.000 remaja perempuan yang menikah dini.
Akan tetapi, angka tersebut berbanding terbalik dengan tren hubungan seksual remaja di Indonesia yang menurut data terbaru dari BKKBN meningkat tajam. Tercatat lebih dari 50 persen remaja perempuan yang melakukan hubungan seksual di usia 15 hingga 19 tahun. Sementara pada laki-laki angkanya lebih tinggi yakni di atas 70 persen.
“Sebaiknya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Selain bertentangan dengan norma dan agama, dampak kesehatannya juga sangat signifikan, terutama bagi perempuan,” ungkap Arzeti.
Zeti, begitu ia akrab disapa menegaskan hal ini menjadi tantangan baru yang perlu segera diatasi. Kampanye no sex sebelum menikah harus semakin digalakkan. Tidak hanya itu, peran sekolah dan tentu saja orang tua dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak-anak harus dimaksimalkan.
Dengan kata lain, perlu dilakukan upaya pencegahan yang komprehensif dan berintegrasi untuk menghadapi dan mengurangi dampak negatif dari fenomena tersebut.
Terkait aturan tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja yang belakangan menimbulkan polemik ia mengatakan harus dijelaskan secara komprehensif dan clear. Agar tidak ada salah persepsi atau salah tafsir di masyarakat.
“Setelah itu, perlu dievaluasi juga lewat tanggapan masyarakat serta dampak, juga manfaat dari aturan tersebut. Itu untuk mengetahui apakah kebijakan tersebut efektif,” pungkasnya.
Sumber: herald.