GELORA.CO - Ketua Majelis Kehormatan MK (MKMK) I Dewa
Gede Palguna mengkritik sikap baleg. ”Cara ini, buat saya
pribadi, adalah pembangkangan secara telanjang terhadap
putusan pengadilan,” tegasnya. Perilaku baleg, lanjut Palguna,
akan dihadapkan dengan rakyat, civil society, serta kalangan
kampus.
Forum Pembelajar Hukum Tata Negara atau Constitutional and
Administrative Law Society (CALS) juga mengkritik langkah DPR
yang mengabaikan putusan MK. Ketua Presidium CALS Bivitri
Susanti menyatakan, upaya revisi UU Pilkada menunjukkan
Presiden Joko Widodo beserta partai politik pendukungnya
tengah mempertontonkan pembangkangan konstitusi.
Langkah itu juga bentuk pamer kekuasaan yang eksesif tanpa
kontrol. ”Seolah ia merupakan hukum, bahkan melebihi hukum
dan sendi-sendi konstitusionalisme,” ujarnya kemarin.
Upaya demikian dinilai telah mendelegitimasi Pilkada 2024.
”Sebab, aturan main pilkada diakali sedemikian rupa untuk
meminimalkan kompetitor dengan menutup ruang-ruang
kandidasi alternatif,” katanya.
Karena itu, pembangkangan konstitusi oleh presiden dan partai
politik pendukungnya harus dilawan.
Pakar kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini
mengingatkan bahwa putusan MK final dan mengikat. Jika
putusan MK tidak dilaksanakan, akibatnya adalah kecacatan
pelaksanaan pilkada. ”Bila terus dibiarkan berlanjut, Pilkada
2024 inkonstitusional dan tidak legitimate untuk
diselenggarakan,” katanya.
Dalam sistem hukum Indonesia, MK adalah satu-satunya
penafsir konstitusi yang memiliki kewenangan menguji UU.
Pemerintah, DPR, dan semua elemen bangsa harus
menghormati dan tunduk pada putusan MK dengan tanpa
kecuali. ”Ketika MK sudah memberi tafsir, itulah yang harus
diikuti semua pihak. Senang atau tidak senang,” tegasnya.
Pakar hukum tata negara Universitas Airlangga (Unair) Radian
Salman meminta DPR menghentikan pembahasan revisi UU
Pilkada. ”Jika pembahasan ini dilanjutkan, apalagi bertentangan
dengan MK, mereka akan mewariskan keburukan demokrasi,”
tegasnya kepada Jawa Pos kemarin.
Revisi UU Pilkada di masa akhir jabatan hanya akan membuat
DPR makin ditinggalkan rakyat. Apalagi, revisi terkesan
mendadak dengan pikiran yang sangat pragmatis jangka
pendek. Bukan kepentingan jangka panjang sebagaimana niat
peraturan perundangan dibuat.
Radian mengingatkan bahwa MK pernah mengeluarkan
Putusan Nomor 98/PUU-XVI/2018. Bahwa segala UU yang dibuat
dan bertentangan dengan putusan MK bisa disebut ilegal.
Sebab, setiap putusan MK muncul akibat dispute atau sengketa
dari UU yang dibuat. Sementara, UU dibuat atas dasar
konsensus. ”Karena putusan tersebut tercipta akibat dispute,
segala putusan MK harus diikuti,” katanya.
Di bagian lain, melalui siaran pers, Presiden Joko Widodo
menegaskan pentingnya menghormati kewenangan dan
keputusan setiap lembaga negara terkait dengan perubahan
aturan pilkada. ”Iya, kita hormati kewenangan dan keputusan
dari setiap lembaga negara. Itu proses konstitusional yang
biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki,”
ujarnya.
Sumber: jawapos