GELORA.CO -Penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang lambat terjadi karena adanya unsur oligarki kekuasaan yang memainkan peranan untuk bernegosiasi dengan para obligor penunggak BLBI.
Untuk itulah, butuh keberanian besar untuk membongkar dan menyelesaikan kasus BLBI.
Begitu disampaikan Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto merespons kasus BLBI yang kunjung selesai, termasuk salah satunya Bank Central Asia (BCA) yang masih memiliki utang kepada negara sebesar Rp26,596 triliun.
Hari mengatakan, BLBI merupakan dana talangan yang diberikan pemerintah ketika krisis keuangan melanda Indonesia pada 1997. Ada 48 bank komersial bermasalah akibat krisis pada saat itu.
D antaranya adalah BCA milik Anthoni Salim (yang juga memiliki Indofood), Bank Umum Nasional milik Mohamad 'Bob' Hasan, Bank Surya milik Sudwikatmono, Bank Yakin Makmur milik Siti Hardiyanti Rukmana, Bank Papan Sejahtera milik Hasjim Djojohadikusumo, Bank Nusa Nasional milik Nirwan Bakrie, dan Bank Risjad Salim Internasional milik Ibrahim Risjad.
"Dana Moneter Internasional (IMF) juga meminta Indonesia untuk menyuntikkan dana bantuan kepada sejumlah bank yang mengalami krisis," kata kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Kamis (8/8).
Kemudian, pada Desember 1998, BI mengguyur bantuan kepada 48 bank di Indonesia melalui skema BLBI dengan besaran mencapai Rp144,53 triliun.
Namun pada tahun 2000, kata Hari, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebanyak Rp138,7 triliun dari penyaluran dana BLBI.
Selain itu, hasil temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperlihatkan penyimpangan dana hingga Rp54,5 triliun oleh 28 bank penerima dana BLBI tersebut.
"Penyelesaian BLBI yang lambat ini terjadi karena adanya unsur oligarki kekuasaan yang memainkan peranan untuk bernegosiasi dengan para Obligor BLBI," tutur Hari.
Apalagi, kata Hari, yang terlibat dalam kasus BLBI adalah para konglomerat yang sangat erat hubungannya dengan pemegang kekuasaan, khususnya di masa lalu dan saat ini. Sehingga, butuh keberanian besar untuk membongkar dan menyelesaikan kasus BLBI.
"Tidak sehatnya sistem perpolitikan kita pasca reformasi karena obligor BLBI telah membangun dan mendominasi menjadi oligarki BLBI," kata Hari.
Ukurannya, kata Hari, sangat sederhana bahwa oligarki BLBI mereka menggurita adalah harta kekayaan para obligor BLBI bertambah dan makin meningkat.
Bahkan, kata Hari, para obligor BLBI bisa ikut berperan dan mengatur pesta demokrasi yang berlangsung. Jika para obligor BLBI bisa leluasa memainkan peran kekuasaan, maka penyelesaian kasus BLBI hanya akan jalan di tempat.
Mengingat faktanya bahwa dominasi oligarki BLBI ada sejak tahun 1999, pemerintah harus menempatkan obligasi rekap di beberapa bank untuk memperkuat modalnya yang jumlahnya sekitar Rp600 triliun.
Bunga dari penempatan obligasi tersebut sekitar 10 persen per tahun atau Rp60 triliun rupiah per tahun akan dibayar pemerintah sampai 2043 mendatang.
"Dan itu atas saran IMF, kemudian pemerintah melalui Bank Indonesia kala itu diminta menginjeksi likuiditas ke beberapa bank agar tidak kolaps," kata Hari.
"Sehingga 48 obligor mendapat suntikan dana dari pemerintah melalui skema BLBI dengan besaran mencapai Rp144,53 triliun," pungkas Hari.
Sumber: RMOL