Kritik Upaya Pembangkangan terhadap Putusan MK, Denny Indrayana: Nepotismenya Mengganggu Betul

Kritik Upaya Pembangkangan terhadap Putusan MK, Denny Indrayana: Nepotismenya Mengganggu Betul

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO  – Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana menilai penolakan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bagian dari tindakan inkonstitusional.

Termasuk putusan MK terbaru nomor 60 dan 70 tentang syarat minimal dukungan partai politik dan batas usia minimal calon kepala daerah. 

Penolakan itu membuat rakyat marah karena melihat kepentingan politik kelompok tertentu.

"Yang bikin marah persoalan Kaesang-nya, Gibran-nya, nepotismenya," kata Denny dalam diskusi politik, Kamis (22/8).

Denny menuturkan, adanya penilaian bahwa pembangkangan ini sebagai nepotisme membuat rakyat marah. Sehingga terjadi aksi massa besar-besaran menolak keputusan DPR RI. "Yang kita lihat nepotisme yang mengganggu betul, menggunakan instrumen hukum," lanjutnya.

Sebelumnya, dalam putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, MK mempertegas aturan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Bahwa syarat minimum usia calon kepala daerah yang diatur dalam UU Pilkada berlaku pada saat pendaftaran calon.

Syarat minimum usia itu masing-masing 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon wali kota dan wakil wali kota serta calon bupati dan wakil bupati.

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang mendengar putusan itu, sepakat untuk mengabaikan MK dan menggunakan putusan Mahkamah Agung dalam RUU Pilkada terbaru. Yakni syarat usia berlaku pada saat dilantik menjadi kepala daerah.

Langkah itu membuat putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep yang tadinya tertutup untuk pilkada level provinsi menjadi terbuka kembali. Karena Kaesang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024, sementara pelantikan kepala daerah terpilih dijadwalkan 1 Januari 2025.


Sementara, dalam putusan nomor 60/PUU-XXII/2024, MK menyamakan syarat minimal dukungan calon dari parpol dengan calon perseorangan. Yakni 6,5 persen sampai 10 persen suara sah pemilu sebelumnya, sesuai jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) daerah tersebut.

Namun, Baleg mengakali putusan itu dengan mencantumkan klausul dalam RUU Pilkada terbaru. Bahwa syarat minimal 6,5 persen sampai 10 persen itu hanya berlaku untuk parpol nonparlemen

Sumber: jawapos 
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita