Kotak Kosong dan Residu Demokrasi

Kotak Kosong dan Residu Demokrasi

Gelora News
facebook twitter whatsapp


OLEH: YUSFITRIADI
   
ISU ‘Pasangan Calon Tunggal melawan Kotak Kosong’ berembus sangat kencang seiring semakin dekatnya tahapan pendaftaran Pasangan Calon pada Pemilihan Serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang akan dilakukan pada 27–29 Agustus 2024. 

Munculnya istilah "kotak kosong" tidak terlepas dari Undang-undang No 10 tahun 2026 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang. Selanjutnya diperjelas melalui Peraturan KPU No. 28 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. 


Di mana Undang-undang dan Peraturan KPU tersebut memberikan peluang bagi adanya satu pasangan calon saja dalam Pemilihan Serentak, yang dilaksanakan sejak 2015. Dalam perjalanannya, pasangan calon tunggal lawan kotak kosong sejak tahun 2015 sampai 2020 terus meningkat. 

Pada Pemilihan Umum 2015 hanya ada 3 pasangan calon tunggal, sedangkan pada 2017 diikuti oleh 9 pasangan calon tunggal. Angka ini semakin meningkat pada 2018 di mana ada 16 pasangan calon tunggal dan meningkat tajam pada pemilihan kepala daerah tahun 2020 yakni sebanyak 25 pasangan calon tunggal yang melawan kotak kosong. 

Sejak pemilihan kepala daerah 2015 sampai 2020, pasangan calon tunggal hanya terjadi di tingkat Kabupaten dan Kota. Tren kenaikannya akan terus meningkat, terlebih pada pemilihan kepala daerah tahun 2024 mendatang. Bahkan indikasi yang sudah terlihat akan terjadi juga di beberapa provinsi tidak hanya akan terjadi Kabupaten/Kota. 

Tentu dalam konteks kualitas demokrasi di Indonesia kondisi ini sangat memprihatinkan. Karena bagi saya, demokrasi formal dan prosedural yang dinamakan Pemilu atau Pemilihan bukan hanya sekadar memilih orang, namun juga memilih gagasan, memilih karakter, dan memilih rekam jejak. 

Jika pemilihan diikuti oleh satu pasangan calon lawan kotak kosong, gagasan apa yang mau dibandingkan, karakter kepemimpinan bagaimana yang dimiliki oleh kotak kosong, serta rekam jejak apa yang bisa dibanding? 

Sehingga praktik pemilihan yang mengakomodir adanya pasangan calon tunggal cenderung memaksakan masyarakat untuk tidak mempunyai pilihan. Tentu saja hal ini jauh dari spirit demokrasi yang dicita-citakan. Karena dalam prosesnya akan banyak hal yang berpotensi menggerogoti nilai-nilai demokrasi. 

Kegagalan Partai Politik

Kesepakatan Negara ini dibangun dengan demokrasi sistem kepartaian sudah final. Sehingga di bahu partai politik spirit demokrasi diharapkan. Namun ketika peran-peran partai politik salah satunya pengkaderan politik tidak berjalan, bahkan semakin lama semakin “mandul” apakah masih layak Negara demokrasi ini dibangun dengan sistem kepartaian. 

Meningkatnya pasangan calon tunggal dari pemilihan ke pemilihan, bahkan diindikasikan akan semakin “menggila” pada Pemilihan Serentak 2024, merupakan bukti nyata partai politik telah gagal melakukan kaderisasi politik. Terlebih jika munculnya pasangan calon tunggal akibat dari berbagai perilaku transaksional dan pragmatisme di lingkungan partai politik. Tidak hanya gagal dalam kaderisasi politik, namun gagal menjaga integritas di tubuh partai politik. 

Memborong Kekuatan Politik

Ketika saya mengadakan penelitian terkait pasangan calon tunggal, pada 2015 dan 2017, salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya fenomena pemilihan hanya diikuti oleh satu pasangan calon alias pasangan calon tunggal adalah, Memborong partai politik lebih murah dan lebih mendekati kepastian menang, dibandingkan harus mengikuti kontestasi atau pemilihan secara normal. Kalau sudah demikian, maka akan memunculkan implikasi dua hal. 

Pertama, Kepala Daerah berpotensi diisi oleh pemborong. Artinya siapapun yang memiliki uang banyak bisa menjadi kepala daerah dengan memborong partai politik. 

Kedua, Potensi Intervensi Oligarki. Karena siapapun yang akan diusung menjadi pasangan calon dalam Pemilihan Kepala daerah harus mendapatkan rekomendasi dari partai politik atau gabungan partai politik di tingkat pusat, maka konspirasi oligarki kekuasaan dan partai politik di tingkat pusat berpotensi memaksakan untuk terjadinya pasangan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Siapapun tanpa harus memiliki rekam jejak di partai politik, tingkat elektabilitas dan tingkat ketokohan di tengah-tengah masyarakat. 

Rakyat Akan Ditinggalkan 

Ketika pasangan calon tunggal disahkan menjadi kepala daerah, amat sangat berpotensi, pelayanan kepemimpinan tidak berorientasi kepentingan rakyat atau pengembangan sebuah daerah. Namun berpotensi pengabdianya terhadap partai politik dan para pemodal yang sudah memborong partai politik. 

Dalam kondisi normal saja, terkadang masalah-masalah masyarakat dikesampingkan, apalagi jika kontestasi dilakukan dengan kondisi yang tidak normal, yakni hanya melawan kotak kosong. Kontribusi masyarakat dalam menentukan pilihannya menjadi ternegasikan. Sehingga hal ini berpotensi abai terhadap esensi kepala daerah dalam menata, membangun, mengembangkan, dan memberdayakan masyarakat daerah. 

Pintu Masuk Mengembalikan Sistem Tertutup 

Praktik pemilihan hanya diikuti oleh satu pasangan calon, sudah pasti merupakan konsensus semua partai politik. Sehingga terkesan suara rakyat menjadi tidak penting. 

Bagi saya kondisi ini adalah praktik yang seakan demokrasi, berpura-pura berdemokrasi. Ditambah lagi dana yang harus dikeluarkan akan sama saja dengan pemilihan yang diikuti oleh dua atau lebih pasangan calon. Sehingga demokrasinya seakan-akan, namun dana yang harus dikeluarkan tidak berkurang sedikitpun. Perspektif ini tentu saja akan menimbulkan penegasan mengembalikan sistem pemilihan secara tertutup, yakni Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan kepada Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 

Oleh karena itu, ketika semua stakeholder pemilu dan Pemilihan memiliki komitmen terhadap kualitas demokrasi di Indonesia, ada beberapa solusi untuk meminimalkan terjadinya fenomena pasangan calon tunggal. Tentu saja solusi ini tidak bisa diberlakukan pada Pemilihan 2024, karena harus melalui perubahan atau revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah. 

Pertama, Permudah Syarat Pasangan Calon melalui jalur perseorangan. Kedua, Pemberlakuan syarat diikuti oleh lebih dari satu pasangan calon. Seperti halnya diberlakukan pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 

Ketiga, Pengurangan syarat 20 persen kursi di lembaga legislatif untuk bisa mengusung Pasangan Calon. Keempat, adanya syarat minimal sebagai kader partai untuk bisa diusung menjadi pasangan calon Kepala Daerah. Hal ini sebagai bentuk antisipasi para “pemborong partai”. 

(Penulis adalah pengamat politik dan kebijakan publik Visi Nusantara Maju)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita