GELORA.CO - Dinamika politik yang terjadi akhir akhir ini tidak lagi terjadi gesekan antara eksekutif dan legislatif karena adanya mekanisme kontrol atas jalannya pemerintahan.
Konflik justru terjadi antara DPR dengan masyarakat sipil setelah adanya dugaan upaya melanggengkan kekuasaan dengan membegal demokrasi.
Hal itu setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan angin segar untuk tumbuh suburnya demokrasi di masa yang akan datang dengan adanya kemudahan bagi partai politik untuk mencalonkan kader terbaik mereka menjadi kepala daerah.
Namun angin segar yang seharusnya disambut dengan tepuk tangan gembira oleh partai politik ini malah diduga akan dijegal oleh perpanjangan tangan sejumlah partai politik di DPR lewat RUU Pilkada. Mereka justru hendak menafikan kompetisi yang sehat.
Alif Iman, salah satu peserta aksi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan, pihaknya bersama sejumlah tokoh seperti Burhanuddin Muhtadi, Gunawan Mohamad, Sinta Nuriyah Wahid, Omie Komariah Madjid, Erry Riyana Hardjapamekas, Henny Supolo, Franz Magniz Suseno, Usman Hamid, dan lain-lain, akan melakukan gugatan ke MK apabila DPR mengesahkan RUU Pilkada.
"Ada kawan-kawan bidang konstitusi yang akan mengajukan gugatan kembali. Tapi seruan kami apabila Presiden (Jokowi) dan DPR tetap nekat secara ugal-ugalan membegal demokrasi, kita kami serukan untuk boikot Pilkada," paparnya.
Menurutnya, langkah yang juga akan ditempuh selain mengajukan gugatan ke MK, juga dengan membuat seruan untuk masyarakat memboikot pilkada 2024.
"Bukti kita tidak mencoblos, tidak ada noda tinta warna ungu di jari kita," katanya.
Dia menambahkan, aksi mengawal putusan MK ini akan terus dilanjutkan ke depannya hingga sampak ke daerah-daerah. Mereka akan terus menyuarakan perlawanan kepada kekuasaan yang dijalankan secara ugal ugalan.
"Kita akan lanjutkan di beberapa kota juga. Karena proses di DPR ini sangat cepat sekali," ujarnya.
Terlepas dari hal itu, massa aksi meminta DPR untuk mendengarkan hati nuraninya dengan tidak mengesahkan RUU Pilkada yang berpotensi menghancurkan demokrasi. Mereka meyakini para anggota DPR yang dipilih oleh rakyat tahu betul bahwa apa yang mereka lakukan merupakan perbuatan yang salah.
"Dari fraksi PPP menyebut, kami ini yang punya wewenang bikin UU, terserah kami mau bikin UU apa. Mereka pongah, sombong," katanya
Sumber: jawapos