Ini Kronologi Penyerobotan Lahan Fuad Bawazier

Ini Kronologi Penyerobotan Lahan Fuad Bawazier

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Komisaris Utama PT. Mind.id, Fuad Bawazier menjadi korban mafia tanah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Kuasa Hukum keluarga Fuad Bawazier, Sri Meliani mengurai bahwa kliennya Nurani Bawazier yang merupakan putri kandung Fuad Bawazier membeli sebidang tanah di Jalan Yusuf Adiwinata 15 Menteng, Jakarta Pusat, pada tahun 2008 silam.


Menurut Sri, proses pembelian lahan dilakukan pengecekan dengan sangat hati-hati ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

"BPN tidak ada permasalahan clear dari sitaan, dari hipotik dan lain sebagainya. Kemudian fisik tanah juga dalam keadaan kosong," kata Sri Meliani di Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Senayan, Kamis (8/8).

Selanjutnya lahan tersebut diserahkan kepada Nurani Bawazier, selaku pembeli, dan sertifikat di balik nama," 

Sri menegaskan, legal standing atas tanah di kawasan Menteng itu milik Nurani Bawazier dalam akta jual beli Nomor 17 Tahun 2008, dan kemudian sertifikat hak milik pada 2008.

"Tanah itu kemudian dibangun menjadi rumah tinggal putrinya Pak Fuad, 2008 sampai 2014," kata Sri.

Namun mendadak muncul gugatan dari seseorang bernama Juntaswardi yang mengklaim lahan milik anak Fuad Bawazier tersebut.

"Latar belakang Juntaswardi ini menceritakan di dalam gugatannya zaman dahulu kala tahun 1956 mendapat izin tinggal di situ atau yang disebut dengan surat izin penghunian dari kantor perumahan dari Pemprov DKI," kata Sri.

Kemudian pada tahun 1964, Juntaswardi mengajukan izin membeli objek tanah tersebut. Namun tertunda sampai tahun 1967.

"Setelah ditelisik kenapa ini izin membeli negara dicabut? Rupanya Juntaswardi terlibat masalah pengkhianatan G30S pada tahun 1965," kata Sri.

Karena itulah negara tidak akan memberikan hak tanah kepada Juntaswardi, apalagi di ring 1 Menteng.

"Rumah ini adalah rumah dinas untuk para pejabat negara, tidak mungkin untuk diberikan kepada keluarga dimana salah satu kepala keluarganya diduga kuat melakukan turut serta di dalam peristiwa G30S," kata Sri.

Setelah itu, Juntaswardi menggugat ke pengadilan pada tahun 1973 sampai tahun 1980. Lantas diputus oleh pengadilan gugatannya itu adalah ingin membeli dan meminta surat membeli kepada Dirjen Agraria dan gubernur. 

"Sampai Mahkamah Agung gugatannya ditolak, kemudian Dirjen Agraria dan gubernur diperintahkan oleh putusan kasasi membayar Rp100 juta kepada ahli waris Juntaswardi. Selesai tidak ada permasalah," kata Sri.

Lantas, pada 2014 Juntaswardi menggugat Nuraini Bawazier untuk izin membeli.

"Nuraini ini bukan lembaga pemerintah yang bisa memberikan hak atau izin membeli kepada seseorang atas objek. Objek tanah sudah bukan milik negara, sudah beralih kepada Kolonel Sunaryo, sudah beralih kepada ibu Nuraini," kata Sri.

Namun, kata Sri, yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diputuskan bahwa penggugat ahli waris Juntaswardi dinyatakan berhak mengajukan permohonan kepemilikan atas tanah. 

"Bukan dinyatakan sebagai pemilik tapi dinyatakan berhak mengajukan permohonan," kata Sri.

Kemudian amar selanjutnya dinyatakan sertifikat Nomor 431 atas nama Nurani tidak mengikat, tidak berkekuatan hukum.

"Kemudian diperintahkan untuk mengosongkan dan menyerahkan objek dalam keadaan kosong tanpa syarat dan beban apapun," tutup Sri.

Sumber: RMOL 
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita